Oleh
Muhammad Ismail Yusanto
Semua orang tahu alam Indonesia sangat kaya. Areal hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, alamnya indah. Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut luar biasa. Wilayah perairannya sangat luas, belum lagi kandungan ikan yang diperkirakan mencapai 6,2 juta ton, mutiara, minyak dan kandungan mineral lainnya, termasuk di dalamnya keindahan alam bawah lautan. Dari potensi ikan saja, menurut Menteri Kelautan, bisa didapat devisa lebih dari 8 milyar US dollar setiap tahunnya. Sementara, di daratan terdapat berbagai bentuk barang tambang berupa emas, nikel, timah, tembaga, batubara dan sebagainya. Di bawah perut bumi sendiri tersimpan gas dan minyak yang juga termasuk cukup besar. Kandungan emas di bumi Papua yang kini dikelola PT. Freeport Indonesia, misalnya, konon termasuk yang terbesar di dunia. Tak heran bila McMoran Gold and Coper, induk dari PTFI, berani membenamkan investasi yang sangat besar untuk mengeduk emas dari bumi Papua itu sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Tapi, semua orang juga tahu, kini Indonesia terpuruk menjadi negara miskin. GNP perkapita hanya sedikit lebih banyak dari Zimbabwe, sebuah negara miskin di Afrika. Sudahlah rakyatnya miskin, utang negara luar biasa besar. Disebut-sebut lebih dari Rp 1400 trilyun rupiah. Sebanyak Rp. 742 triliun rupiah diantaranya berupa utang luar negeri, sisanya adalah utang dalam negeri (Forum, 5 Maret 2002). Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung beban utang yang sedemikian besarnya itu? Tidak lain tentu saja adalah rakyat Indonesia sendiri. Hal ini nampak pada pos penerimaan dalam APBN tahun 2002 yang dari sektor pajak mencapai sekitar 70%. Itu artinya, rakyat jualah yang harus menanggung beban keterpurukan ekonomi Indonesia. Jika kondisi seperti ini tidak segera dibenahi, maka dikhawatirkan akan timbul bencana ekonomi yang lebih berat dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Tampak, bahwa beban perbaikan ekonomi ke depan akan semakin bertambah berat karena Indonesia harus menanggung cicilan utang plus bunganya, ditambah dengan masih tingginya ketergantungan pemerintah terhadap bantuan (utang) luar negeri untuk keperluan pembangunan nasional dan berjalannya roda pemerintahan.
Dengan demikian, sesungguhnya pola pembangunan Indonesia di masa sekarang ini tidaklah banyak mengalami perubahan dibanding dengan masa Orde Baru (yang telah direformasi itu). Yaitu tetap mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan dari utang luar negeri dan menggenjot pajak. Belakangan, utang luar negeri yang bukan berkurang melainkan justru makin bertambah terus itu menurut Lubis et al., (1998) memunculkan persoalan baru seperti kerusakan hutan dan polusi alam akibat eksploitasi sumber daya alam yang makin tak terkendali demi mendapatkan devisa dan pesanan negara donor di luar negeri untuk mencicil utang luar negeri plus bunganya yang terus membengkak.
Sumberdaya alam Indonesia yang demikian kaya itu ternyata tidak memberikan berkah yang semestinya. Dari sini sangat bisa dimengerti, mengapa negara kaya seperti Indonesia penduduknya harus menjadi miskin papa laksana ‘ayam mati di atas pendaringan beras’. Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi? Di mana letak kekeliruannya, pada sistem pengelolaannya atau pada orang-orangnya yang kurang cakap dan kurang amanah ataukah keduanya?
Pengelolaan SDA di Indonesia
Seperti telah banyak diketahui, di Indonesia khususnya sepanjang pemerintahan Orde Baru, individu ataupun swasta bisa mendapatkan hak yang diberikan oleh penguasa pada waktu itu untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam seperti tambang (batubara, emas, tembaga), hutan, minyak dan gas bumi dsb. Untuk sektor kehutanan, sebagai contoh, menurut laporan Warta Ekonomi (Agustus, 1998), sebagian besar hutan di Indonesia sampai sebelum reformasi, sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Diantaranya, Grup Kayu Lapis milik Hunawan Widjajanto menguasai 3,5 juta hektar HPH, menduduki tempat teratas. Urutan selanjutnya adalah Grup Djajanti Djaja milik Burhan Uray yang menguasai 2,9 juta hektar, Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu memegang 2,7 hektar, Grup Kalimanis milik Bob Hasan menguasai 1,6 juta hektar, PT Alas Kusumah Group menguasai 1,2 juta hektar, Sumalindo Group dengan luas 850.000 hektar, PT Daya Sakti Group dengan luas 540.000 hektar, Raja Garuda Mas Group dengan luas 380.000 hektar dan seterusnya. Dengan pola pengelolaan yang relatif tetap, kepemilikan HPH seperti tersebut di atas diyakini hingga kini belum banyak berubah.
Meski dalam kontrak perjanjiannya tidak sampai menguasai sumber daya alam dalam bentuk hak milik, namun yang berhak untuk memiliki hasil bersih dari sumber daya alam yang telah dieksploitasi tersebut tetaplah para pemegang sahamnya, setelah dikurangi untuk biaya produksi, pajak dan gaji buruh. Sebagai contoh, menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya yang ketika itu adalah 2,5 milyar US Dollar (kini diperkirakan mencapai sekitar 7 – 8 milyar US dollar -- Kompas, 10 Februari 2001). Dari hasil sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17 %, sedangkan sisanya yaitu sebesar 83 % masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994).
Pengelolaan hutan dengan sistem HPH sebenarnya bukan asli Indonesia, melainkan ditiru dari Belanda. Sistem pemberian HPH yang sesungguhnya sudah dianggap salah oleh Belanda dan sangat merugikan rakyat itu beratus tahun kemudian, tepatnya tahun 1968, diterapkan rezim Orde Baru. Saat itu pemerintah memang benar-benar sedang butuh duit untuk biaya pembangunan sehingga hampir setengah dari seluruh luas hutan yang 144 juta hektar itu diperkenankan untuk diambil kayunya.
Dalam konsep HPH, pemegang HPH mengeksploitasi hutan selama 35 tahun melalui rencana karya tahunan (RKT). Penebangan kayu sesuai RKT itu dilakukan terhadap blok-blok hutan secara berkeliling, sesudah itu diidealkan akan ditanam kembali sehingga pada tahun ke-36 atau sesudah habis masa konsesi, hutan pada RKT pertama bisa ditebang kembali. Dengan konsep itu pengelola HPH harus benar-benar orang yang mengerti kehutanan, sebab hutan memiliki tiga fungsi sekaligus, yakni ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam praktiknya, konsesi HPH dengan luas rata-rata 100.000 hektar itu diberikan kepada pengusaha "kelas dengkul", yayasan-yayasan termasuk yayasan milik tentara dan institusi lain yang sama sekali tidak memiliki modal, keahlian dan pengetahuan tentang kehutanan. Mereka akhirnya mencari mitra dari luar negeri (sebagian besar dari Malaysia) dan mereka hanya menerima fee dari para kontraktor asing itu.
Dan pada kenyataannya pula, para pengusaha itu ternyata mengeksploitasi hutan secara membabi buta. Bila untuk mendapatkan HPH tersebut diperlukan biaya, termasuk untuk menyuap para pejabat terkait, sebagai pengusaha, mereka berkepentingan untuk dapat mengembalikan biaya yang dikeluarkan itu secepat mungkin dengan segala cara. Maka terjadilah eksploitasi hutan secara semena-mena. Perjalanan sejarah hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia ini benar-benar buram, sebab sejak itulah pengusahaan hutan di Indonesia tidak lagi mengindahkan aspek kelestarian.
PT Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Dephutbun pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata telah menimbulkan kerusakan lebih dari 50 juta hektar. Kerusakan itu makin menggila karena sering pula pengusaha hutan melakukan ijon. Pada waktu HPH masih dalam proses atau dalam taraf surat keputusan pencadangan, mereka sudah melaksanakan transaksi dan mendapat fee dari mitra asing tersebut. Pada fase inilah terjadinya penjualan/penggadaian hutan Indonesia dengan mengabaikan segala aspek kelestarian dan fungsi sosial hutan. Inilah proses pembabatan hutan tropis di Indonesia melalui tebang habis Indonesia (THI). Ketentuan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) tidak ada dalam kamus mereka. Hutan produksi yang dicadangkan untuk HPH seluas 60 juta hektar dibabat habis. Akhirnya, rakyat yang memiliki hutan itu tidak kebagian apa-apa. Kini setelah puluhan juta hutan dibabat habis, rakyat masih harus terus menanggung derita akibat hutang negara yang berjibun jumlahnya.
Kini areal kerusakan hutan mencapai luas 56,98 juta hektar. Untuk merehabilitasinya, Indonesia memerlukan dana Rp 225 triliun. Sementara, dana reboisasi (DR) di APBN hanya dianggarkan Rp 7 triliun saja (Kompas, 23 Oktober 2000). Itupun masih akan bertambah karena kerusakan hutan di Indonesia kini diperkirakan mencapai 1,6 juta hektar per tahun. Sementara, kemampuan rehabilitasi hutan dan lahan di luar kawasan hutan hanya 400.000 – 500. 000 hektar pertahun (Kompas, 23 Oktober 2000). Dalam beberapa tahun ke depan hutan Indonesia bakal terancam punah jika illegal logging (penebangan kayu illegal) tidak dihentikan. Menurut data World Bank, jika kondisi ini terus berlangsung, hutan di Sumatera akan punah 2005, sedangkan hutan di Kalimantan akan punah pada tahun 2010.
Sementara itu, dalam bidang perminyakan, menurut laporan majalah SWA Sembada (April-Mei, 1996), hampir semua sumur minyak di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang merupakan perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia) dan Mobil Oil. Selebihnya, Pertamina yang memproduksi. Dalam skala lebih kecil muncul belakangan pengusaha-pengusaha swasta nasional yang ikut terjun dalam bisnis minyak bumi seperti Arifin Panigoro dengan Medconya, Tommy Soeharto dengan Humpussnya, Ibrahim Risjad, Srikandi Hakim dan Astra International.
Dalam bidang pertambangan, Indonesia juga dikenal sebagai negara kaya. Secara geologis, Indonesia merupakan wilayah pertemuan deretan gunung berapi Sirkum Mediteranean dengan Sirkum Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di masa lampau akibat kegiatan vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas.
Dengan besarnya potensi tambang ditambah aturan-aturan yang menguntungkan, Indonesia dengan mudah menarik investor asing untuk menanamkan modalnya.Tahun 1967 PT Freeport Indonesia (FI) memulai dengan Kontrak Karya generasi I (KK I) untuk konsesi selama 30 tahun. Selama itu, PTFI boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib menggunakan produksi dalam negeri) dan pemerintah Indonesia hampir tidak mendapat kompensasi apapun. Setelah kondisi politik dan perekonomian Indonesia mulai stabil, Pemerintah Indonesia (dalam rangka menarik investor asing) memberikan insentif bebas pajak dan royalti yang tidak terlalu besar, maka tercatat 16 perusahaan asing ikut dalam KK II. Berikutnya pada KK III, Pemerintah Indonesia mulai menerapkan pajak ekspor US$ 0,025-0,7 per metrik ton bijih tembaga, pajak penghasilan 35 % dan harus menyisihkan 10 % saham bagi mitra lokal. Selama periode 1977-1985 ada sekitar 13 perusahaan mendapatkan KK III. Pada KK IV pemerintah mulai mengendurkan persyaratan kembali, diantaranya tidak harus menyisihkan saham ke mitra lokal. Pada KK IV ini ada 95 perusahaan telah masuk (SWA Sembada, Juni-Juli, 1997).
Pada tahun 1988, secara tak terduga FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72 juta tons. Kemudian mereka mengajukan pembaharuan KK selama 30 tahun dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya. Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Namun menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke pemerintah tidak berubah, hanya 1 - 3,5 %, sehingga penerimaan pemerintah dari pajak, royalti dan deviden FI hanya US$ 479 juta (SWA Sembada, 1997). Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibanding pendapatan diperoleh FI sekitar US$ 1,5 milyar (tahun 1996), yang dipotong 1 % untuk dana pengembangan masyarakat Irian (ketika itu sekitar US$ 15 juta) (Gatra, Oktober, 1998). Dari data-data di atas dapat dilihat bahwa mulai dari KK I sampai KK V telah seratus lebih perusahaan-perusahaan swasta yang telah mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Jelaslah, bahwa pemberian HPH kepada segelintir orang dalam pengelolaan hutan juga pemberian ladang konsesi kepada perusahaan asing untuk mengelola minyak, emas atau barang tambang lainnya seperti yang dilakukan selama ini sudah terbukti salah. Dengan cara seperti itu, hasilnya lebih banyak dinikmati oleh segelintir pengusaha atau perusahaan-perusahaan itu dan penguasa yang berkolusi dengan para pengusaha ketimbang yang dirasakan oleh rakyat. Pengelolaan hutan dan barang tambang serta bentuk kepemilikan umum lain dengan cara seperti yang selama ini dilakukan jelas harus ditinjau ulang.
Pengelolaan SDA dalam Islam
Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).
Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola oleh negara untuk hasilnya diberikan kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadits tersebut, Abyad diceritakan telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang shahabat,
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.
Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadist tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Bahwa semula Rasullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Tapi ketika kemudian Rasul mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, maka Rasul mencabut pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Dan semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, ia menarik kembali pemberian itu. An-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:
“Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali, karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut, maka beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.
Penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh adalah illat dari larangan sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadits dari Amru bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul milhi” (tambang garam). Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Harits Al Muzni dari kabilahnya, serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal dari Abi Ikrimah yang mengatakan: “Rasulullah saw.memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, baik berupa gunung atau tambang,” sebenarnya tidak bertentangan dengan hadits Abyadh ini. Hadits di atas mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal kandungannya terbatas, sehingga boleh diberikan. Sebagaimana Rasulullah pertama kalinya memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh. Tapi kebolehan pemberian barang tambang ini tidak boleh diartikan secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul setelah diketahui bahwa tambang itu kandungannya besar bagaikan air yang terus mengalir. Jadi jelaslah bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.
Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik yang nampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah seperti garam, batubara, dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya termasuk milik umum. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak, semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.
Sedangkan benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk hanya dimiliki oleh pribadi, benda tersebut termasuk milik umum. Meski termasuk dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama dari segi sifatnya, maka benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda dengan kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Air misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, tapi bila suatu komunitas membutuhkannya, individu tidak boleh memilikina. Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
Oleh karena itu, sebenarnya pembagian ini - meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum - esensi faktanya menunjukkan bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property). Seperti jalan, sungai, laut, dana, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan dan sebagainya.
Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni mengatakan:
“Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab hal itu akan merugikan mereka”.
Maksud dari pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Maka barang siapa menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.
Pemasukan Negara
Dengan memahami ketentuan syari’at Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara dan dengan demikian diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.
Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat melalui Baitul Mal. Baitul Mal adalah kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara. Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya semua ditentukan oleh syari’at Islam. Sektor-sektor pemasukan dan pengeluarannya Kas Baitul Mal, adalah:
1. Sektor kepemilikan individu
Pemasukan dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infaq dan shadaqah. Untuk zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara dalam pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an (At-Taubah: 60), yaitu: 1). Faqir, 2). Miskin, 3). Amil zakat, 4). Muallaf, 5) Memerdekakan budak, 6) Gharimin (terlilit hutang), 7). Jihad fi sabilillah, 8). Ibnu sabil (yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Sementara, infaq dan shadaqah pendistribusiannya diserahkan kepada ijtihad khalifah yang semuanya ditujukan untuk kemashlahatan ummat.
2. Sektor kepemilikan umum
Tercakup dalam sektor ini adalah segala milik umum baik berupa hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan dsb. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan:
- Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
- Membagikan hasilnya secara langsung kepada masyarakat yang memang sebagai pemilik sumberdaya alam itu berhak untuk mendapatkan hasilnya. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan.
- Sebagian dari kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.
3. Sektor kepemilikan negara
Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10% dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah untuk kepentingan negara dan kemashlahatan ummat.
Khatimah
Jelas sekali, pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber dayaalam negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah itu. Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumberdaya itu. Sudah saatnya, misalnya hanya BUMN yang berhubungan dengan hutan saja yang mengelola hutan-hutan yang ada di negeri ini. Demikian juga dengan sumberdaya lain. Eksplorasi emas oleh PT Freeport merupakan kesalahan besar. Sejak tahun 1973 konon lebih dari Rp 500 triliun hasil emas melayang ke luar negeri. Memang pemerintah mendapatkan pajak dan sebagainya. Tapi pasti angkanya jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri. Andai itu sepenuhnya dikelola oleh negara, dana yang tidak sedikit itu tentu bisa diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Begitu juga dengan barang tambang lain.
Pemanfaatan seoptimal mungkin sumberdaya alam itu hanya mungkin bila BUMN yang menangani semua kekayaan milik umum itu dikelola secara profesional dan amanah. Sudah menjadi rahasia umum betapa di BUMN-BUMN itu selama ini terjadi inefisiensi luar biasa akibat praktek-praktek kolusi dan korupsi. Akibatnya, bukan hanya dana itu tidak sampai ke tangan rakyat, BUMN itu juga mengalami kerugian. Bagaimana mungkin PLN misalnya, yang menjadi perusahaan tunggal dalam pengelolaan listrik, bisa merugi? Padahal tidak ada satupun rakyat yang tidak menggunakan listrik. Juga tidak ada perusahaan lain yang menjadi saingan PLN. Itu semua terjadi karena mismanajemen dan korupsi. Dengan efisiensi, dana yang diperoleh bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, dan BUMN itu juga bisa berjalan dengan baik. Rakyatnya makmur sejahtera, negara tidak perlu berhutang ke sana kemari. Insya Allah.
Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar