Pages

Site Info

Senin, 28 Februari 2011

KIBLAT PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK MENJADI LEBIH BAIK

Tidak bisa dipungkiri, bahwa kondisi pendidikan di negeri kita saat ini babak belur. Dari   sisi SDM misalnya, yang dihasilkan oleh pendidikan kita jauh dari harapan. Saat ini, hampir di seluruh kota-kota besar tawuran antar pelajar, seks bebas, narkoba, dan perilaku rusak lainnya seolah-olah menjadi ‘teman karib’ para pelajar sekarang. Kepribadian mereka kacau; tidak tersentuh sama sekali nilai-nilai Islam. Memang, ada pelajar-pelajar yang berprestasi dan berkepribadian tangguh, namun jumlah mereka tidak sebanyak pelajar yang ‘bermasalah’.

Di tingkat lulusan sarjana, saat ini jumlah penganggurannya sudah diambang angka yang mengkhawatirkan. Jika ini terjadi maka problem sosial baru akan bermunculan. Jika ditanya, apa penyebab utama dari carut-marutnya pendidikan di negeri ini, maka penyebabnya bersifat sistemik
Saat ini kita hidup dalam ‘dunia datar’ yang bernama Globalisasi. Sebuah dunia dimana revolusi teknologi informasi dan komunikasi menjadikan bumi seakan berada dalam genggaman tangan manusia. Sebuah dunia yang semakin mendekatkan jarak dan mempercepat waktu proses aktivitas manusia. Sebuah dunia yang membuat interaksi antar manusia tidak lagi terikat batas ruang dan waktu.
Globalisasi bercirikan satu kata terpenting yaitu ‘GloboCapitalism’. Sebuah proses pengglobalan ideologi kapitalisme. Globalization means, then, the extension of the capitalist way of life to all corners of the globe. Demikianlah globalisasi. Ya! Globalisasi bercirikan masuknya ideologi kapitalisme secara paksa dan suka rela dalam setiap aspek kehidupan umat manusia: aspek pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, politik luar negeri dan lainnya. Noam Chomsky mengatakan globalisasi sebagai a conspiracy of the Western elite to establish private tyrannies across the world.
Perlu digaris bawahi, globalisasi adalah tsunami ideologi yang menghantam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara dalam skala global. Istilah tsunami ideologi lebih tepat karena kapitalisme telah menggeser kehidupan manusia menuju kubangan krisis multi-dimensi. Kita semua tentu akrab dengan berbagai nama krisis, seperti krisis ekonomi, krisis finansial, krisis lingkungan, krisis moral, krisis sosial, krisis spiritual dan berbagai krisis lainnya. Sayangnya krisis-krisis ini tidak serta merta membangkitkan kesadaran manusia untuk bangkit dan meminta pergantian ideologi. Alih-alih mengubah haluan ideologi, malah sebagai diantara kita masih banyak yang setia dengan ideologi ini. Sebuah ideologi yang terbukti ketidaklayakannya mengatur manusia.
Apa kaitan fenomena global itu dengan pendidikan? Apa pula hubungannya dengan multiple intelligent pada pendidikan? Apa pula kaitannya dengan peranan intelektual serta praktisi pendidikan dalam proyek pembangunan? Berikut akan dijawab pertanyaan-pertanyaan ini sebagai wacana awal yang segar dalam dunia pendidikan.


Globalisasi dan Pendidikan
Kenyataannya, globalisasi juga menghantam telak dunia pendidikan secara global, termasuk pendidikan di Indonesia. Dampak dari reformasi pendidikan ini bagi sebagian kalangan memiliki sisi positif. Penyelenggaraan pendidikan di sebagian lembaga pendidikan tinggi semakin professional. Fasilitas pendidikan semakin membaik. Metode pembelajaran semakin inovatif. Kurikulum dan output semakin kompatibel dengan pasar. Artinya, dengan kondisi ini output pendidikan semakin sesuai dengan hasrat stakeholder utama globalisasi, yaitu industri dan pasar. Lembaga pendidikan semakin mengukuhkan posisinya sebagai lembaga pencetak buruh/pekerja yang professional.



Namun, bagi sebagian yang lain reformasi pendidikan memiliki sisi negatif, yaitu pendidikan secara umum hanya mencetak manusia professional yang pragmatis dan minim akan nilai spiritual, moral dan sosial. Disamping itu, bidang-bidang yang jauh dengan dunia industri seperti budaya, agama, sejarah akan semakin ditinggalkan karena tidak ‘laku’
Multiple Intelligent dan Pendidikan
Reformasi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai globalisasi diakui semakin mengasah kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Artinya dua kecerdasan ini membuat output pendidikan bisa beradaptasi dan lolos dalam dunia yang sangat kompetitif. Bahkan membuka peluang untuk tidak hanya bisa bertahan, tapi juga  memenangkan kompetensi. Dua kecerdasan ini paling tidak bisa mengarahkan pada penguasaan hardskill dan softskill. Hardskill berarti kompetensi di bidangnya dan softskill berarti ia memiliki keterampilan untuk sukses seperti kemampuan komunikasi, manajemen, organisasi, dan lainnya.
Namun, modal hardskill dan softskill di sini tidak cukup kalau dimaksudkan untuk mendapatkan output pendidikan yang ideal dan memiliki good value. Disinilah dibutuhkan multiple intelligent yang unik  dalam pendidikan. Hardskill dan softskill memang mampu mencetak pekerja/buruh intelektual yang baik serta pemimpin di dalam komunitasnya, namun bukan mencetak pekerja atau pemimpin yang bermoral apalagi bertakwa. Saat ini saja kita sudah bisa membayangkan betapa Indonesia di masa depan akan mengalami krisis pemimpin yang baik, idealis, konsisten, bermoral dan bertakwa. Yang kita lihat justru akan banyak manusia dan pemimpin Indonesia yang lebih pragmatis dan oportunis.
Dua kecerdasan yang perlu dikembangkan untuk kondisi ini adalah kecerdasan yang mampu menjawab pertanyaan ‘siapa saya’ dan dan ‘apa peran saya untuk dunia’. Kecerdasan yang mengarahkan pada ketundukan terhadap Pencipta manusia serta kecerdasan yang mengarahkan pada hasrat berkontribusi dalam melakukan transformasi dunia yang lebih baik. Kecerdasan yang pertama adalah kecerdasan spiritual (SQ) dan kedua adalah kecerdasan ideologis (IdQ).
Untuk kecerdasan spiritual dan ideologis, penulis meyakini harus diasah dari basis yang berbeda dengan nilai-nilai globocapitalism. Kecerdasan spiritual dan ideologis harus dibangun dari way of life Islam. Hanya dengan way of life Islam inilah diharapkan tumbuh manusia-manusia beriman, produktif, kuat dan transformatif. Manusia-manusia yang bekerja tidak hanya membangun kesuksesan pribadi tapi juga membangun negeri. Pribadi-pribadi yang berjuang untuk kehidupan pribadi dan tata dunia baru yang lebih baik berdasarkan Islam.
Kiblat Pendidikan Indonesia

Harvard Business School, Massachushate International Technology (MIT), Oxford University, Cambridge University, Chicago University, McGill’s Institute of Islamic Studies dan California University adalah sedikit dari sekian banyak perguruan tinggi yang digandrungi dan diimpikan banyak manusia. Ribuan bahkan mungkin jutaan manusia di dunia berwisata ilmu ke sana. Tidak terkecuali kaum muslimin yang tinggal di negeri-negeri Islam.  Banyak disiplin ilmu yang bisa dipelajari dan dinikmati di sana. Di dunia Barat (baca : negara Kapitalis). Harus diakui, saat ini, Barat menjadi pusat ilmu di bidang teknologi seperti bidang komputer, material, industri, reaktor nuklir, kedokteran, telekomunikasi, antariksa, satelit, teknologi wireless, renewable energy, image processing, instrumentasi, biologi molekuler dan lain-lain. Disamping masalah teknologi, Barat juga menjadi kiblat dalam disiplin ilmu sosial seperti politik, pemerintahan, sosiologi, ekonomi, hukum, politik luar negeri, seni, budaya, manajemen, akuntansi, pendidikan dan lainnya. Ternyata tidak hanya masalah teknologi dan ilmu sosial, Barat bahkan menjadi rujukan untuk belajar berbagai agama, tidak terkecuali agama Islam.
Tahukah anda apa yang dialami Barat sebagai center of excellent di bidang ilmu seperti saat ini, pernah pula dialami oleh dunia Islam. Dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu. Umat Islam menjadi pusat keunggulan dalam pengembangan ilmu dan pendidikan. Dunia Islam dikermuni oleh para pelancong ilmu (intelektual) dari Eropa, Asia dan dari berbagai penjuru dunia lainnya. Bila anda mau membuka lembar sejarah maka akan mengenali kota-kota seperti Baghdad, Damaskus, Kairo,Granada, Seville, Pisa, Malaga, Cordoba, Toledo, Sharaz, Merv, Mosul, Basrah, Fez, Tunis sebagai pusat-pusat ilmu. Di sana berdiri banyak perguruan tinggi, perpustakaan (taman ilmu) serta ’supermarket ilmu’ (toko buku). Madrasah, Kuttab, halaqoh (jenis-jenis sekolah dalam Islam) banyak bertebaran di sana didirikan oleh negara (para Khalifah) untuk rakyat serta pelajar, ’dosen’, serta intelektual luar negeri. Beberapa sekolah tinggi,’university’ atau ’college’ yang terkenal di antaranya Mustansiriah, Nidhamiyyah, Sarwiyyah, an-Nuriah, Khawja Najamuddin dan Darb-i-Mahan. Ini hanya sebagian kecil yang disebutkan. Sekolah-sekolah ini membahas berbagai cabang ilmu, dari maslaah Dien sampai maslah ilmu pengetahuan umum seperti matematika,geografi, sejarah dan kedokteran.  Gambaran betapa luas samudera ilmu di kota-kota Islam pernah dikemukakan oleh Mehdi Nakosteen. Ia mengatakan di Baghdad saja ada 36 perpustakaan, diantaranya Bayt Al-Hikmah, perpustakaan Umar Al-Waqidi, Dar Al-Ilmi, Nizamiyah, perpustakaan Madrasah Mustansiriyah, Al-Baiqani, Muhammad Ibn Al-Husain, Ibnu Kamil.
Kebesaran dunia Islam dalam masalah pendidikan, ilmu, sains dan teknologi pernah diungkapkan secara jujur oleh Pangeran Charles sebagai berikut :
“….Misalnya kita telah meremehkan pentingnya masyarakat dan kebudayan Islam selama 800 tahun di Spanyol antara abad ke-8 dan ke-15. Sumbangan Muslim terhadap pemeliharaan pengetahuan klasik selama berabad-abad kegelapan, dan terhadap lahirnya Renaisance telah lama diakui…”
“…mereka (kaum muslim )juga menafsirkan dan mengembangkannya dalam tradisi peradaban itu dan telah memberikan sumbangan vital di banyak bidang usaha manusia- dalam Sains, Ilmu Bintang (Falaq), matematika, aljabar (yang merupakan kata Arab), Hukum, sejarah, Kedokteran, Farmasi, Optik, Pertanian, Arsitektur, Teologi dan Musik. Averroes (Ibnu Rusyd), seperti juga sejawatnya Avicenna (Ibnu Sina) dan Rhazes (Al Razi) di Timur, menyumbang pada studi dan praktek kedokteran dalam banyak hal yang selama beberapa abad berikutnya dimanfaatkan oleh Eropa…”
“…Kabarnya terdapat 400.000 buku di perpustakaan penguasa Cordoba, yang jumlahnya lebih banyak dari semua buku yang ada di semua negara-negara lain di Eropa. Itu semua terjadi karena Dunia Islam belajar cara membuat kertas dari Cina lebih dari empat ratus tahun sebelum negara-negara non-Muslim Eropa mempelajarinya. Banyak ciri yang dibanggakan Eropa modern sebenarnya berasal dari Kaum Muslimin di Spanyol ….”
Kiblat kita ke-Barat-kah atau Islam?
Kiblat kita ke-Barat-kah atau Islam? Ini adalah pertanyaan retorik dan reflektif untuk kita semua. Bila jawabannya adalah Barat maka persoalan menjadi mudah. Kita tinggal belajar dan mencontek bagaimana Barat menata sistem pendidikannya. Bahkan, tidak usah memaksakan diripun kita akan ’dipaksa’ untuk berkiblat ke sana.  Barat yang mengemban ideologi sekuler-kapitalis tidak akan cukup menyebarkan sistem pendidikan sekuler di benua Eropa, Amerika dan Australia. Ia akan masuk ke seluruh penjuru dunia. Salah satu langkahnya bisa dilihat dengan agenda reformasi paradigma perguruan tinggi di seluruh dunia.  Agenda ini digagas oleh UNESCO, tanggal 5-9 Oktober 1998, dalam acara The World Conference on Higher Education in the Twenty-first Century: Vision and Action. Peserta yang hadir tidak tanggung-tanggung, terdiri dari wakil sekitar 180 negara dari komunitas akademik, termasuk dosen, mahasiswa dan stakeholder pendidikan tinggi.
Bagaimana follow up konferensi ini? Hasil konferensi ini disambut oleh Indonesia dengan melakukan reformasi pendidikan tinggi sehingga sesuai dengan nilai-nilai global yang dicanangkan. Proses reformasi ini didanai oleh lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia maupun Asian Bank Developement. Implementasi kerjasama ini melalui program-program seperti DUE (Development for Undergraduate Education), DUE-like, QUE (Quality for Undergraduate Education), Semi-QUE, URGE, Program Hibah Kompetitif (PHK) A1, A2, A3, B, Retooling Program/TPSDP.
Inilah proses pengkiblatan yang terjadi. Tidak cukup sampai di sini. Dengan disahkannya UU BHP maka semakin ‘telanjang’ kiblat kita ke mana.

Mengapa Harus Mengubah Haluan?
Mengapa harus mengubah haluan? Maksudnya merubah kiblat pendidikan model Barat menuju model alternatif (Islam).  Inipun pertanyaan reflekti bagi ummat Muhammad, ummat yang hebat, ummat yang secara fitrah sebagai ummat terbaik.
Jawabannya, pendidikan model Barat bukanlah model ideal dan mendapat ridha. Ia hanya nampak indah bagi pihak-pihak lemah yang tidak memiliki konsep alternatif. Seharusnya dunia Islam tidak mudah tergoda untuk mengadopsi, dengan atau tanpa modifikasi, sistem mereka. Apa yang dihasilkan model pendidikan Barat? Output SDM yang professional? Output SDM yang bermoral dan berakhlak? Ilmu ekonomi yang berkeadilan dan mensejahterakan? Ilmu industri yang ramah lingkungan? Ilmu politik yang menentramkan masyarakat? Ilmu budaya yang beradab?  Ilmu hukum yang adil? Ilmu agama yang mendekatkan kita kepada Allah SWT? Ilmu teknologi yang berkembang cepat dan bermanfaat banyak bagi umat manusia? Sebagian besar pertanyaan di atas akan kita jawab dengan jawaban ‘TIDAK’, kecuali pertanyaan pertama dan pertanyaan terahir (dengan catatan). Inilah alasan mengapa kita harus pindah haluan. Di dunia, pendidikan Barat bermasalah dan di akherat juga akan bermasalah.

Menggagas Sistem Pendidikan Islam
Kemana haluan itu harus kita arahkan? Jawabannya adalah Islam. Konsep Islam pernah terbukti mencetak peradaban unggul dan hebat. Peradaban yang berhasil melahirkan banyak sekali center of excellent. Philip K. Hitti bahkan pernah menyebut secara khusus dunia Islam (masa Abassiyah) sebagai the most brilliant period (masa paling cemerlang). Pada masa ini banyak terlahir ulama, ilmuan sekaligus intelektual dengan multi-competency. Yang paling penting pula mereka adalah orang-orang yang tidak materialistis, tapi orang-orang yang berakhlak dan berkeperibadian Islam. Bagaimanakah sistem pendidikan yang mampu menghasilkan output SDM dan ilmu yang baik ini? Karena ruang yang terbatas maka akan disajikan beberapa point dasar dalam sistem pendidikan Islam.


Asas Sistem Pendidikan.
Asas sistem pendidikan dalam Islam adalah aqidah Islam. 
Mengapa? Aqidah Islam menuntut setiap muslim untuk memegang teguh ajaran yang lahir darinya. Menjadikannya sebagai dasar dalam berfikir dan berbuat. Asas  dalam hubungan antar sesama manusia. Asas bagi aturan  masyarakat dan asas dalam   kehidupan bernegara, termasuk dalam  menyusun sistem pendidikan.
Penetapan aqidah Islam sebagai asas pendidikan  tidaklah berarti bahwa setiap ilmu pengetahuan harus bersumber pada  aqidah Islam, karena memang tidak semua ilmu pengetahuan terlahir dari aqidah Islam. Yang dimaksud dengan  menjadikan aqidah Islam sebagai asas atau dasar dari ilmu pengetahuan adalah dengan menjadikan  aqidah Islam  sebagai standar penilaian. Dengan kata lain,  aqidah Islam difungsikan sebagai kaidah atau tolak ukur  pemikiran dan perbuatan.
Sebagai pembandingnya, dalam sistem sekuler yang menjadi tolok ukur pemikiran maupun perbuatan adalah konsep kebebasan, yaitu konsep kebebasan berkeyakinan/beragama, kebebasan berpendapat/berekspresi, kebebasan kepemilikan, kebebasan pribadi/tingkah laku.  Konsep kebebasan ini terkenal juga sebagai konsep hak-hak asasi manusia. Sebagai akibat dari konsep kebebasan berkeyakinan/beragama, misalnya, maka agama tidak boleh menjadi asas bagi setiap ilmu pengetahuan.  Agama hanya ditempatkan sebagai salah satu cabang ilmu yang bisa dipelajari tanpa harus diterapkan. Tolak ukur dalam sistem pendidikan sekuler ini adalah manfaat, yang tentu saja relatif bagi setiap manusia. Manfaat inilah yang menjadi ukuran baik-buruk, terpuji-tercela dari pikiran dan perbuatan manusia.


Tujuan Sistem Pendidikan. Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni: Pertama, berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir ('aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai 'aqîdah 'aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
Ilmu yang termasuk fardhu 'ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT.
Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
Sebagai pembanding, sistem pendidikan sekuler-kapitalis, lebih mengarahkan pada pembentukan manusia sebagai individu yang profesional, pekerja yang baik dan dapat memenuhi tuntutan dunia pekerjaan.  Dengan kata lain, tujuannya adalah membentuk pekerja-pekerja bagi roda industri kapitalisme.  Tujuan ini memang tidak secara eksplisit dinyatakan. Namun kuatnya dominasi sektor ekonomi membuat semua sektor kehidupan tertata mengikuti pola putaran modal dan orientasi materi.

Tanggung Jawab Pelaksanaan Pendidikan. 
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda:
]اَلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ[
Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
      Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan.
      Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ahkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha' yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas).
Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
Sebaliknya dalam idiologi sekuler-kapitalis, peran negara sangat dibatasi.  Hal ini agar tidak mengurangi kebebasan individu.  Peran negara terbatas hanya sebagai pembuat aturan dan undang-undang.  Kalaupun negara memiliki peranan dalam sistem pendidikan, maka peranannya sangat terbatas.  Sebagai contoh, negara tidak ikut campur terlalu jauh dalam pembuatan kurikulum sekolah.  Bahkan untuk tingkat pendidikan tinggi, keotonomian kampus dan terpisahnya kampus dari pengaruh negara benar-benar dijaga.
Metode berfikir Aqliyah (Rasional). Dalam Al Qur’an metode berfikir aqliyah sangat ditekankan. Metode berfikir ini mengkaitkan fakta terindera dengan informasi sebelumnya dan kemudian dilakukan penetapan/penyimpulan terhadap fakta tadi.  Untuk masalah-masalah yang terindera, maka digunakanlah metode berfikir aqliyah ini.  Sebaliknya, untuk masalah yang tak terindera maka digunakanlah sumber-sumber informasi dari wahyu Allah SWT (Qur’an maupun Hadist).  Untuk benda yang terindera dan dapat diperlakukan pada kondisi eksperimen, maka digunakanlah metode berfikir ilmiah yang merupakan bagian dari metode berfikir aqliyah.  Dari sinilah maka dapat dihasilkan penemuan-penemuan di bidang sains dan teknologi.
Sebaliknya metode berfikir yang melandasi peradaban sekuler-kapitalis adalah metode berfikir ilmiah, yang berlandaskan pada hasil-hasil eksperimen.  Mereka sangat mengagung-agungkan metode ilmiah karena terdorong oleh fakta keberhasilan mereka ketika mereka mencapai kemajuan dalam sains dan teknologi. Hal ini memiliki dampak pada penolakan segala sesuatu yang tidak dapat dieksperimenkan.  Bahkan, keyakinan pada metode berfikir ilmiah ini membuat mereka memperluas cakupan metode ilmiah pada permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diilmiahkan, seperti pada bidang sosial humaniora, agama dan lain sebagainya. Akbiatnya metode ini melahirkan  berbagai kesimpulan yang tidak dapat dipastikan benar dan salahnya. Lahirlah kemudian konsep relativisme (ketidakpastian) dalam berfikir. Semuah hal dianggap memiliki kebenaran relatif.


Dibedakan antara Tsaqafah dan Ilmu Sains.
Tsaqafah merupakan istilah untuk menyebut ilmu yang terkait dengan kebudayaan atau pemikiran tertentu. Contohnya, Ilmu Fiqh, Ibadah, bahasa Arab, ilmu Hadits adalah tsaqofah Islam. Sementara, trias politika, trinitas, civil society adalah contoh tsaqofah bukan Islam. Singkatnya, tsaqofah adalah ilmu yang value laiden. Tsaqafah Islam diajarkan sejak jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.  Sementara illmu sains terkait dengan hasil-hasil riset sains dan teknologi serta penerapannya.  Ilmu ini termasuk dalam ilmu umum yang diajarkan sebagian besar pada jenjang pendidikan tinggi. Sedangkan untuk tsaqafah yang bukan dari Islam boleh dipelajari untuk memahami dan mengungkap kerusakan dan kesalahannya. Tsaqafah selain dari Islam hanya dipelajari pada jenjang pendidikan tinggi.
Sebagai pembanding, idiologi sekuler-kapitalistik, telah mengkaburkan baik sengaja maupun tidak, perbedaan antara tsaqofah dan ilmu sains.  Mereka menyodorkan pada kita tsaqofah-tsaqofah sekuler dengan dibungkus metode ilmiah, atau minimal istilah-istilah ilmiah. Tsaqofah ini dianggap sebagai ilmu yang benar dan terbukti secara ilmiah.  Konsep dasar mereka tentang kebebasan, dengan bantuan pemikrian-pemikiran filsafat mereka, dianggap sebagai suatu kebenaran ilmiah.  Mereka juga sering mengkaburkan antara fakta dengan penilaian terhadap fakta. Contohnya adalah pluralitas dan pluralisme. Fakta tentang pluralitas dikaburkan dengan konsep penilaian terhadap fakta tadi (pluralisme). Mereka mengatakan benar untuk paham pluralisme karena faktanya ada pluralitas.


Pendidikan Bagi Siapa Pun. 
Dalam Islam tidak terdapat batasan usia pendidikan, hal ini sejalan dengan perintah untuk menuntut ilmu sepanjang hayat seseorang. Hanya ditegaskan bahwa pendidikan di sekolah dimulai sejak usia tujuh tahun, sesuai perintah untuk mengajarkan shalat pada anak-anak pada usia itu.
Dalam idiologi sekuler-kapitalis juga tidak terdapat batasan usia pendidikan. Walaupun ada penjenjangan usia pendidikan sesuai dengan tingkat ilmu yang diperoleh. Namun, penjenjangan tersebut tidak begitu ketat.  Hanya saja dalam hal meraih pendidikan tinggi yang mahal, tidak semua orang pintar dan ada kemauan akan mendapat pendidikan, karena hanya yang memiliki uang saja yang dapat diterima untuk belajar. Guyonannya ”Orang Miskin Dilarang Sekolah”.


Sistem Pendidikan Islam Tidak Berorientasi Nilai Angka. 
Pencapaian target pendidikan tidak dilihat dari nilai angka. Seseorang dapat dinyatakan lulus jika dirinya telah menguasai ilmu yang ia pelajari. Ujian dilakukan terutama secara lisan oleh guru kepada muridnya. Sedangkan pemberian ijazah lebih merupakan penghargaan atas kemampuan murid dalam penguasaan ilmu itu.
Dalam sistem pendidikan sekuler kapitalistik, walaupun bentuk ujian lisan juga ada tetapi sudah mulai jarang dipakai, kecuali pada tingkat pendidikan tinggi (doktoral).  Hal ini terutama karena kepraktisan dan banyaknya biaya yang harus dikeluarkan.  Sehingga karena tekanan faktor ekonomi, terpaksa kualitas ujian dikorbankan, dengan menggantikan ujian lisan dengan ujian tertulis, dan siswa/mahasiswa dipaksa untuk sekedar dapat mencapai nilai standar yang telah ditentukan.
Biaya Pendidikan Gratis. Mungkinkah?
Pendidikan gratis? Hari begini bicara pendidikan gratis? Bagaimana kualitasnya kalau pendidikan gratis? Bukankah pendidikan berkualitas harus mahal? Inilah mungkin yang ada dalam benak kita kebanyakan. Pendidikan Berkualitas Pasti Mahal adalah pernyataan BENAR. Persoalannya siapa yang harus membayar? Dalam sistem pendidikan sekuler-kapitalis, tanggungjawab pendanaan pendidikan ada pada masyarakat dan negara secara bersamaan.  Kecuali di negara-negara kapitalis yang menerapkan sosialisme negara, maka kebanyakan negara kapitalis membiayai hanya sebagian kecil dari sektor pendidikan tinggi.  Sedangkan untuk sektor pendidikan dasar dan menengah biasanya dibiayai negara, tergantung pada kemampuan ekonomi negaranya.  Untuk negara yang kaya, biasanya untuk pendidikan dasar dan menengah gratis.
Namun, dalam sistem Islam pendidikan gratis. Setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama. Kaya atau miskin punya kesempatan sama dalam hal menuntut ilmu.  Konsep pendidikan gratis ini tentu akan sulit dipahami bila sistem bernegara masih dalam frame sekuler-kapitalis. Apalagi kalau sistem ekonomi yang diterapkan adalah sistem ekonomi kapitalis. Sulit membayangkan bagaimana beratnya negara membiyayai pendidikan berkualitas. Namun, bila negara menggunakan sistem ekonomi Islam maka pendidikan gratis mudah dipahami. Dari kacamata ekonomi Islam, sumber-sumber pemasukan negara akan memadai untuk membiayai sektor kesehatan, keamanan dan juga pendidikan.  Hal ini antara lain karena dalam sistem ekonomi Islam, sumber daya alam yang melimpah tidak boleh dikuasai oleh individu/swasta, tetapi harus dikelola negara yang hasilnya untuk masyarakat.
Mungkin Pendidikan Gratis di Indonesia?
Tadi di atas telah disebutkan bahwa sistem pendidikan gratis berkualitas mudah dipahami dalam frame negara yang menerapkan sistem Islam. Sistem ekonomi Islam memungkinkan hasil kekayaan alam sebagian untuk membiyayai pendidikan. Sekarang kita bayangkan cukupkah Indonesia membangun pendidikan berkualitas gratis bila dananya sebagian diperoleh dari: potensi hutan Indonesia dalam bentuk kayu yang  diperkirakan sebesar US$ 2.5 miliar; hasil hasil ekspor tumbuhan dan satwa liar sebesar US$ 1.5 miliar; hasil hutan berupa rotan dimana Indonesia menjadi pemasok sekitar 80 sampai 90% kebutuhan dunia; potensi pendapat dari sektor kelautan sebesar US$ 82 miliar; emas di Papua yang merupakan emas terbesar kedua di dunia (86,2 juta ons emas, 32,2 juta ton tembaga, 154,9 juta ons perak); Minahasa memiliki tambang emas dengan pemasukan 104.2 juta US dollar; potensi pemasukan di Blok Cepu 1.2 miliar US dollar / tahun; blok Natuna dan blok-blok minyak dan gas lainnya. Cukupkah kira-kira? Ini pun hanya sebagian kecil kekayaan alam yang dimiliki Indonesia.
Belum lagi bila dihitung potensi sumber daya manusia, hasil riset serta teknologi yang dikembangkan dari pendidikan berkualias. Bila sumber daya ini dihitung secara ekonomis maka pendidikan yang bebas biaya dan berkualitas tidak lagi sulit dibayangkan. Tinggal kita, mau atau tidak menerapkan Islam dalam kehidupan bernegara sehingga Pendidikan Berkualitas dan Bebas Biaya menjadi kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar