Pages

Site Info

Selasa, 10 Mei 2011

KARAKTER GENERASI CERDAS, GENERASI PEMIMPIN


Jika ada persoalan yang terlalu sulit bagiku, aku pergi ke masjid dan berdoa,
memohon kepada Yang Maha Pencipta agar pintu yang telah tertutup bagiku dibukakan
dan apa yang tampaknya sulit menjadi sederhana. Biasanya, saat malam tiba,
aku kembali ke rumah, menghidupkan lampu dan menenggelamkan diri
dalam bacaan dan tulisan….”

(Ibnu Sina dalam Hoodbhoy, 1996: 193)

Inilah gambaran karakter generasi cerdas yang merupakan produk pendidikan masa kejayaan khilafah Islam. Di usia sepuluh tahun, Ibnu Sina telah menghapal Al-Qur’an dengan sempurna, dan di usia 17 tahun dia telah menjadi seorang dokter yang mapan. Karya utamanya, Al-Qanun menjadi teks standar dalam bidang kedokteran sampai lahirnya kedokteran modern. Minatnya menjangkau bidang filsafat dan logika, selain bidang keddokteran. Dedikasinya terhadap Islam tidak pernah padam.
            Ibnu Sina bukan satu-satunya ilmuan besar yang lahir pada masa kejayaan Islam. Menurut catatan para ahli sejarah, selama periode Abasiyyah terdapat lebih dari 500 orang ilmuan besar sekaliner Ibnu Sina yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu di dunia Barat modern, di mana karya-karyanya menjadi rujukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
            Sistem pendidikan Islam memang melahirkan generasi yang cerdas, generasi para ilmuan yang memiliki kearifan tersendiri, generasi yang memadukan antara kemampuan sains di satu pihak dengan tsaqofah Islam di pihak lain, generasi yang ber-syaksiyyah Islamiah seperi nampak dalam keseharian Ibnu Sina, dan generasi pemimpin yang berlandaskan aqidah Islam. Sistem pendidikan Islam benar-benar telah melahirkan umat yang terbaik (khoero ummah), sebagaimana firman Allah:
                       
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah … (QS.Ali Imran [3]:110).


            Umat Islam adalah umat yang terbaik, umat yang menjadi panutan di tengah-tengah manusia yang lain.  Akan tetapi sangat disayangkan, faktanya saat ini umat Islam yang mayoritas ini tidak seperti gambaran masa sejarah kebesaran Islam, sehingga sulit menunjukkan bahwa umat Islam merupakan umat terbaik. Buktinya, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim kesulitan mencari sosok pemimpin ideal yang menjadi panutan dan melindungi kepentingan umat Islam. Sulit bagi ummat Islam untuk yakin apakah pemimpin yang ada – atau pemimpin yang kan terpilih nanti – adalah pemimpin yang dapat diserahi amanah untuk memimpin dan membuat bangsa ini bangkit meninggalkan keterpurukan di segala aspek kehidupan.  Umat tidak yakin apakah mereka bisa menjadi sosok pemimpim yang didamba-dambakan selama ini.  Umat juga tidak yakin apakah mereka akan amanah, jujur, adil, tidak KKN, dll.
            Sosok pemimpin adalah representasi dari kondisi umat sendiri, karena ia adalah buah dari sistem penanganan generasi yang ada.  Sebagaimana potret generasi yang ada di tengah-tengah umat saat ini, seperti itulah sosok pemimpin yang terlahir.
            Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana sebenarnya gambaran generasi dambaan umat yang bisa menjadi calon-calon pemimpin ideal dan mengapa generasi dambaan tersebut tidak mampu dihasilkan oleh sistem penanganan generasi yang ada saat ini.
Potret Generasi, Antara Harapan dan Kenyataan



  1. Generasi Dambaan Umat: Generasi Cerdas, Generasi Pemimpin

Islam merupakan agama yang tidak saja mengatur kehidupan ritual, tetapi juga memiliki seperangkat aturan dan hukum yang menata seluruh bentuk interaksi antar umat manusia di dunia.  Kesempurnaan Islam ini telah terbukti mampu mengubah generasi yang tadinya ummiy (buta huruf) dan jahiliy (bodoh/rusak) menjadi sebuah generasi yang mumpuni.  Bahkan mampu membangun sebuah peradaban manusia yang khas, yang menyinari hampir seluruh bangsa di dunia dan kejayaannya bertahan selama empat belas abad.
Faktor yang paling menentukan kualitas generasi Islam adalah keimanan dan keilmuannya.  Oleh karena itu generasi dambaan umat yaitu generasi yang cerdas dan peduli terhadap permasalahan bangsanya, dapat didefinisikan sebagai individu-individu shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan jaman dengan solusi yang diberikan Islam dan menguasai sains dan tekonologi.  Tantangan perkembangan jaman yang akan dihadapi adalah segala permasalahan umat di setiap bidang kehidupan.  Pemimpin yang peduli bangsa pemimpin yang peka terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi serta mampu memberikan solusi yang tepat berdasarkan sudut pandang tertentu yaitu aqidah Islam.
Secara rinci gambaran generasi cerdas, generasi peduli ummat dalam pandangan Islam ialah sebagai berikut:

Pertama, generasi yang berkepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah)

                Sosok generasi yang ber-syakhshiyyah Islamiyyah adalah generasi yang memiliki keimanan kuat terhadap Islam (aqidah Islam), lalu aqidah Islam tersebut dijadikan sebagai landasan dan standar satu-satunya dalam berfikir (aqliyah) dan bersikap (nafsiyah).  Semua aktivitas dan problem dalam kehidupan, baik di keluarga, masyarakat maupun Negara ditata dan diselesaikan berdasarkan petunjuk yang datang dari Islam (Syariah Islam).
                Generasi yang ber-syakhshiyyah Islamiyyah memiliki gaya hidup (way of life) yang khas, dimana segala aktivitasnya didasarkan  pada aqidah Islam.  Tak peduli apakah gaya hidup Islamnya di mata masyarakat kebanyakan dianggap sesuatu yang aneh.  Karena mereka sadar bahwa saat ini Islam memang telah menjadi sesuatu yang asing, bahkan bagi umatnya sendiri.  Umat Islam telah jauh dari memahami Islam apalagi menerapkannya, kecuali hanya dalam perkara ibadah mahdloh saja.  Sementara dalam masalah pakaian, makanan, pergaulan, mu’amalah, hak dan kewajiban dalam keluarga, penataan interaksi di masyarakat dan penataan sistem kenegaraan, masyarakat mengambil sistem hidup Kapitalis sekuler dan membuang jauh sistem hidup Islam.
                Bagi generasi yang ber-syakhshiyyah Islamiyyah, kenyataan yang ada di masyarakat bukanlah parameter mereka dalam berbuat, tetapi aqidah Islamlah yang harus dipegang kuat.  Mereka yakin bahwa hanya Islam yang dapat menyelamatkan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.  Sehingga ketika mereka melihat kenyataan yang berbeda dan bertentangan dengan aqidah Islam, akan menjadi tantangan bagi mereka untuk mengubahnya.  Secara proaktif generasi yang ber-syakhshiyyah Islam akan terus menerus melakukan perubahan di masyarakat menuju kehidupan yang Islami.  Generasi ber-syakhshiyyah Islam akan berusaha semaksimal mungkin menjadi teladan dan motor perjuangan Islam yang nyata di tengah masyarakat.

Kedua, generasi yang berjiwa pemimpin

            Penerapan Syariah Islam tidak hanya dikhususkan untuk umat Islam saja, tetapi merupakan rahmat bagi seluruh manusia dan mensejahterakan kehidupan dunia.

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya [21]: 107).

            Karakter Islam yang demikian itulah yang mendorong umatnya untuk menyebarkan dan memperjuangkan Islam demi tegaknya Syariah Islam di muka bumi, karena Islam tidak sekedar memperbaiki individu, tapi juga masyarakat, Negara dan dunia seluruhnya.  Hal ini yang menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kepemimpinan dalam diri umat atau generasi Islam.  Generasi yang tidak hanya mementingkan kesenangan hidup di dunia dengan mengejar materi, bermain-main dan berhura-hura (gaya hidup materialistik hedonistik).  Tetapi sebuah generasi yang serius dan sungguh-sungguh dalam memperjuangkan tegaknya Syariah Islam hingga menyinari seluruh alam.  Generasi yang memberikan keteladanan dan mengajak umat manusia untuk mengambil jalan Islam. 
            Generasi yang berjiwa pemimpin tampak dari tanggung jawabnya terhadap segala aktivitas dalam kehidupannya.  Pemahaman Islam yang mengkristal pada dirinya mendorong untuk siap bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya.  Baik pemimpin bagi dirinya, keluarganya, masyarakat, bahkan umat di seluruh dunia.  Mereka mengerti betul bahwa hidupnya sarat dengan amanah, dan kelak harus dipertanggung jawabkan kepada Sang Kholiq,  Allah SWT.  Rasulullah SAW bersabda:

Dan amir itu adalah pemimpin yang mengurusi urusan umat, dan dia bertanggung jawab dengan segala urusannya”. (HR Muslim).
“Sesungguhnyah Allah akan menanyakan kepada mererka apa yang telah mereka lakukan”. (HR Muslim).

Ketiga, mampu menjawab tantangan perkembangan jaman

            Seseorang yang memahami Islam secara jernih dan mendalam akan menemukan jawaban, bahwa hanya dengan aqidah Islam semua persoalan baik persoalan pribadi, keluarga maupun masyarakat dan dunia seluruhnya akan dapat diselesaikan dengan baik.  Dengan memahami bahwa tujuan hidup manusia adalah semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT, Sang Pencipta manusia dan alam semesta, maka sudah selayaknyalah manusia harus mengatur segala aktivitas dan menyelesaikan semua problem hidupnya dengan tuntunan Syariah Allah yang sempurna yaitu Islam.  Karena Islam telah menyediakan solusi yang akan menghantarkan pada kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak.
            Generasi yang mendapatkan pembinaan untuk mengokohkan aqidah Islam dalam dirinya, akan mampu mengarungi medan kehidupan dengan penuh keberanian.  Tidak ada hal yang patut ditakuti kecuali murka Allah.  Hidupnya hanya diabdikan kepada Allah, pantang putus asa dan menyerah pada problem atau konflik yang melanda kehidupannya.
           
  1. Pemimpin Ideal yang Terlahir dari Generasi Cerdas

Pemimpin ideal yang dikehendaki Islam adalah pemimpin yang berpegang pada Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW dalam menyelesaikan berbagai persoalan. 
Seorang pemimpin adalah pengemban amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari Akhir.  Amanah yang diembannya adalah amanah kepemimpinan yang merupakan taklif hukum dari Allah SWT.  Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Pada dasarnya, amanah adalah taklif (syarih Islam) yang harus dijalankan dengan sepenuh hati, dengan cara melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.  Jika seseorang menjalankan taklif tersebut maka ia akan mendapatkan pahala di sisi Allah.  Sebaliknya bila ia melanggar taklif tersebut maka ia akan mendapat siksa.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 3/522).
Jadi, pada intinya pemimpin yang ideal itu adalah pemimpin yang menjalankan amanah yaitu menjalankan syariah Islam.  Ini berarti saat ia menjalankan tugasnya yaitu mengurusi urusan masyarakat, ia akan mengaturnya dengan Syariah Islam dan bukan dengan aturan yang lain.  Ia tidak akan menetapkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan Syariah Islam yang akan merugikan Islam dan kaum muslimin.
Selain itu, pemimpin ideal harus memiliki budi pekerti yang luhur dan memiliki jiwa kepemimpinan.  Diantara sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin menurut Imam Taqiyyuddin an-Nabhani adalah sebagai berikut: (1). Memiliki quwwah (kekuatan); (2). Bertaqwa; (3). Lemah lembut terhadap rakyatnya (ar-rifqu bir roiyyah).
Yang dimaksud dengan kekuatan disini adalah kekuatan pola fakir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah).  Artinya ia mempunya kepribadian Islam (syakhsiyyah Isamiyyah) yang kuat.  Ia harus cerdas dan kemampuan berfikirnya tinggi.  Disamping itu, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan jiwa (nafsiyah) yang dapat membentenginya dari kecenderungan mengikuti hawa nafsu yang membuatnya akan bertindak sewenang-wenang dan menyeleweng dari aturan.
Sifat yang kedua adalah bertaqwa, taqwa itu pada intinya adalah kewaspadaan seorang muslim dari siksa hari Akhir, ketika ia mengerjakan perbuatan atau meninggalkan suatu perbuatan.  Tentu saja sifat ini harus dimiliki oleh seorang pemimpin, agar ia selalu waspada dalam menjalankan amanahnya apakah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan atau yang dilarang oleh Allah SWT.  Itu sebabnya Rasulullah senantiasa mengingatkan kepada para wali yang diutusnya dan juga saat melantik pemimpin pasukan perang agar mereka bertaqwa kepada Allah dan berbuat baik kepada kaum muslimin yang bersamanya.
Sifat ketiga adalah lemah lembut terhadap rakyatnya.  Seorang pemimpin harus bergaul santun dengan rakyatnya, dengan begitu ia akan dicintai mereka.  Ia juga harus memperhatikan keluhan dan penderitaan rakyat, karena ia merupakan pelindung dan penjaga rakyatnya.  Ia tidak akan menggunakan kekuasaannya untuk mendzalimi rakyat, ia tidak akan memperkaya diri dan juga tidak bersifat tamak.  Ia senantiasa ingat sabda Rasulullah SAW: “Siapa saja yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk menugurusi urusan umat Islam, kemudian ia tidak memperhatikan kepentingannya, kedukaan, dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan dan kemiskinannya pada Hari Kiamat.” (HR Abu Daud dan At-Turmudzi).
Selain  harus memiliki sifat-sifat yang telah dijelaskan diatas, Islam telah menetapkan syarat-syarat tertentu untuk seorang pemimpin.  Syarat-syarat ini diperlukan karena jabatan kepemimpinan adalah tugas yang sangat berat dan tidak semua orang dapat memikulnya.  Karea itu, orang-orang yang akan menduduki jabatan pemerintahan harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syariah Islam.
Syarat-syarat pemimpin Islam (kholifah) dibagi menjadi dua: (1). Syarat in’iqod (legalitas); (2). Syarat afdholiyah (prioritas).  Syarat in’iqod adalah syarat legalitas bagi seseorang untuk menjadi pemimpin.  Syarat ini wajib dipenuhi dan jumlahnya ada tujuh: (1) Muslim; (2) Laki-laki; (3) Baligh; (4) Berakal; (5) Merdeka; (6) Adil; (7) qudrah (mampu melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan).  Satu saja dari syarat tersebut tidak dipenuhi maka seseorang tidak legal diangkat menjadi seorang pemimpin.
Sedangkan syarat afdholiyah (prioritas) adalah syarat utama yang tidak wajib ada pada seorang pemimpin.  Apabila syarat prioritas ini tidak dipenuhi namun syarat legalitasnya terpenuhi, maka orang tersebut tetap sah diangkat sebagai pemimpin.
Syarat priorotas itu diantaranya: (1) Mujtahid; (2) Politikus ulung dan pemberani.  Apabila syarat ini tidak dipenuhi, ia tidak menggugurkan seseorang untuk menjadi pemimpin.
Berdasarkan penjelasan di atas, pemimpin ideal akan lahir tentu saja dari generasi yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin yaitu generasi cerdas, generasi peduli bangsa yang gambarannya telah dipaparkan sebelumnya.  Tanpa gambaran generasi seperti itu, mana bisa lahir pemimpin yang memiliki karakter dan kepribadian Islam yang luhur, pemimpin yang memilki jiwa kepemimpinan dan pemimpin yang amanah dalam menjalankan tugasnya.

  1. Bagaimana Melahirkan Pemimpin Ideal dari Generasi Cerdas?

Lahirnya sosok pemimpin ideal dari generasi yang cerdas, generasi peduli bangsa bukanlah perkara yang tidak mungkin direalisasikan meski untuk itu membutuhkan daya upaya yang cukup besar dan ini merupakan pekerjaan yang cukup berat.  Lebih-lebih untuk kondisi saat ini, saat kehidupan kaum muslimin tidak lagi diatur oleh Syariah Islam.
Untuk mewujudkan generasi cerdas, generasi peduli bangsa, pada dasarnya diperoleh melalui proses pendidikan dan pembinaan.  Ini adalah proses panjang yang terjadi sepanjang kehidupan manusia karena pendidikan adalah kegiatan sepanjang hayat yang berkesinambungan.  Sehingga pendidikan tidak dilakukan saat seseorang menduduki bangku sekolah namun sejak ia dilahirkan hingga ia menghadap Allah SWT.
Dengan demikian pendidikan generasi menjadi tanggungjawab keluarga, masyarakat dan juga pemerintah (Negara).  Keluarga adalah institusi pertama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak (generasi).  Disanalah pertama kali dasar-dasar ke-Islaman ditanamkan.  Anak dibimbing bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang Pencipta.  Demikian pula dengan pengajaran perilaku dan budi pekerti anak dapatkan dari sikap keseharian orangtua ketika bergaul dengan mereka.  Bagaimana ia diajarkan untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap sopan santun, kasih sayang terhadap saudara dan orang lain.  Mereka diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan.
Kesimpulannya, potensi dasar untuk membentuk generasi cerdas, yang akan melahirkan pemimpin dipersiapkan oleh keluarga.  Pendidikan dan pembinaan keluarga belum bisa melahirkan generasi yang siap pakai, karena pembinaan dilakukan lebih pada pembentukan landasan berfikir dan pembentukan mental.
Masyarakat yang menjadi lingkungan anak menjalani aktivitas sosialnya mempunyai peran yang besar dalam mempengaruhi baik buruknya proses pendidikan, karena anak satu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat.  Interaksi dalam lingkungan  ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik maupun biologis.
Oleh sebab itu masalah-masalah yang akan dihadapi anak ketika berinteraksi dalam masyarakat harus difahami agar kita dapat mengupayakan solusinya. 
Masyarakat yang terdiri dari sekumpulan orang yang mempunyai pemikiran dan perasaan yang sama serta interaksi mereka diatur dengan aturan yang sama, tatkala masing-masing memandang betapa pentingnya menjaga suasana kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan generasi maka semua orang akan sepakat memandang mana perkara-perkara yang akan membawa pengaruh positif dan mana yang membawa pengaruh negatif bagi pendidikan generasi.  Sedapat mungkin perkara negatif yang akan menjerumuskan anak akan dicegah bersama.  Disinilah peran masyarakat sebagai kontrol sosial untuk terwujudnya generasi ideal menjadi hal yang urgen.
Masyarakat yang menjadi lingkungan hidup generasi tidak saja para tetangganya tetapi juga termasuk sekolah dan masyarakat dalam satu negara.  Karena itu para tetangga, para pendidik dan juga pemerintah sebagai penyelenggara urusan negara bertanggungjawab dalam proses pendidikan generasi.
Sementara itu untuk melahirkan seorang pemimpin, belum cukup dilakukan dengan pendidikan di keluarga dan sekolah saja.  Pendidikan keluarga lebih kepada pembentukan landasan berpikir dan pembentukan perilaku.  Dari hasil pembinaan di keluarga ini sekolah tinggal melanjutkan pembinaan dengan mengajarkan hukum-hukum dalam fikih politik (fiqhu siyasi), seperti mengajarkan bagaimana Rasulullah dulu memimpin masyarakat di Madinah, mengajarkan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban penguasa maupun rakyat, bagaimana hukum Islam mengatur perekonomian dan bagaimana suatu negara menjalankan poltik luar negerinya, dll.
Selain keluarga dan sekolah, partai politik mempunyai peran dalam melahirkan seorang pemimpin.  Partai politik melakukan hal yang sama ditambah dengan mempertajam kepekaan dan wawasan poltik generasi.  Mereka diajak untuk melihat fakta-fakta aktual percaturan politik dalam maupun luar negeri dan mengajarkan bagaimana bersikap terhadap fakta-fakta tersebut, termasuk juga mengajarkan strategi-strategi yang pernah dan harus dijalankan dalam menghadapi persoalan penanganan urusan masyarakat. 
Dengan demikian partai politik dan organisasi masyarakat mempunyai tanggungjawab dalam melahirkan calon pemimpin.  Disanalah generasi akan dibina untuk menjadi politikus yang ulung dan tangguh.  Dan sebenarnya Ormas dan Orpol ini juga berperan dalam membina para ibu agar ibu dapat mendidik generasi secara baik dan benar.
Dari seluruh pihak yang mempunyai tanggungjawab dalam mendidik generasi cerdas, generasi peduli bangsa, negara lah yang mempunyai peran terbesar dan terpenting dalam menjamin berlangsungnya proses pendidikan generasi. 
Hanya negara lah yang mampu membina semua calon ibu agar menjadi ibu pendidik generasi melalui kurikulum-kurikulum sekolah yang mengajarkan bagaimana menjalani peran sebagai ibu yang berdimensi politik yaitu dalam melahirkan generasi cerdas dan tangguh. 
Negara akan menerapkan syariah Islam untuk mengatur interaksi di masyarakat, sehingga hanya aturan Islam yang digunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di tengah masyrarakat.  Negara bertanggungjawab mengatur suguhan yang ditayangkan dalam media elektronik dan juga mengatur dan mengawasi penerbitan seluruh media cetak.  Negara berkwajiban menindak perilaku penyimpangan yang berdampak buruk pada masyarakat, dll.
Negara sebagai penyelenggara pendidikan generasi yang utama, wajib mencukupi segala sarana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan umat secara layak.  Atas dasar ini negara wajib menyempurnakan pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya.  Kebijakan pendidikan bebas biaya akan membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi setiap individu rakyat untuk mengenyam pendidikan, sehingga pendidikan tidak hanya menyentuh kalangan tertentu (yang mampu) saja, dan tidak lagi dijadikan ajang bisnis yang bisa mengurangi mutu pendidikan itu sendiri.  Padahal mutu pendidikan sangat mempengaruhi corak generasi yang dihasilkannya.
Negara wajib memenuhi kebutuhan asasi rakyat dalam hal pendidikan melalui pengajaran ilmu yang diperlukan individu dalam setiap bidang kehidupan.  Karena itu negara wajib membuka dan membangun sekolah mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, lengkap dengan segala fasilitas dan sarana yang mendukung proses pendidikan.
Dalam hal kurikulum, negara wajib menjadikan aqidah Islam sebagai landasan untuk menyusun kurikulum pendidikan agar hasilnya benar-benar selaras dengan tujuan pendidikan Islam yaitu mencetak generasi cerdas, generasi peduli bangsa.  Oleh karena itu tidak boleh sekolah mengajarkan materi pelajaran yang bertentangan dengan aqidah Islam, dan juga materi-materi yang kurang dibutuhkan dalam kehidupan yang akan memperlambat pencapaian tujuan pendidikan.
Negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang handal.  Mereka memilki kepribadian Islam yang luhur, punya semangat pengabdian yang tinggi dan mengerti filosofi pendidikan generasi serta cara-cara yang harus dilakukannya, karena mereka adalah tauladan bagi anak didiknya.  Kelemahan sifat pada pendidik berpengaruh besar terhadap pola pendidikan generasi.  Seorang guru tidak hanya menjadi penyampai ilmu pada muridnya tetapi ia seorang pendidik dan pembina generasi.  Agar para pendidik bersemangat dalam menjalankan tugasnya tentu saja negara harus menjamin kehidupan materi mereka.  Ini dapat memberi motivasi lebih pada mereka meski tugas mereka tidak ditujukan semata untuk memperoleh materi, tetapi merupakan ibadah yang mempunyai nilai tersendiri di sisi Allah SWT.  Betapa besar jasa para pendidik yang hingga ada ungkapan: “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”.  Tentu saja pengabdian mereka harus mendapat penghargaan, dan ini merupakan tanggungjawab negara.


  1. Potret Buram Generasi Kita

Adalah kenyataan yang tak terbantahkan oleh siapapun saat ini bahwa potret generasi yang menjadi tumpuan harapan bangsa sangat jauh dari sosok generasi dambaan.  Mulai dari perilaku siswa, mahasiswa sampai demonstrasi para guru dan pendidik lainnya yang menuntut dinaikannya tunjangan mereka, merupakan kenyataan yang menunjukkan bahwa dunia pendidikan sebagai wadah pembinaan generasi kita begitu rapuhnya.
Realita diatas hanyalah bagian kecil kondisi umat akibat dari krisis multidimensi yang dialami masyarakat Indonesia.  Dan akibat krisis yang berkepanjangan ini menjadikan banyak orang ditimpa kemiskinan, belasan juta orang kehilangan pekerjaan.  Banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya, sehingga lebih dari 4,5 juta anak harus putus sekolah. Akibatnya kebodohan, tindak kriminal dan berbagai bentuk patologi sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.  .
Kemudian anak-anak yang tidak mampu sekolah ini muncul di jalanan menjadi pengemis, pengamen maupun pedagang asongan.  Bahkan tidak hanya itu, banyak dari mereka menjadi pelaku tindak kriminal, mencopet, terlibat narkoba, mabuk-mabukan, pembunuhan dan perbuatan asusila lainnya.  Mereka melakukan itu dengan dalih kebutuhan ekonomi yang terasa semakin meningkat tajam.
            Bunuh diri di kalangan anak-anak karena tak mampu menahan tekanan hidup kini mulai menjadi tren tersendiri, setidaknya sudah muncul di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jakarta.  Paling banyak justru karena mereka menghadapi tekanan di sekolahnya, seperti menunggak SPP atau iuran lainnya.  Ini tentu terkait dengan kondisi orangtua mereka yang tergolong miskin (Republika, 27 Mei 2004).           Biaya pendidikan yang dirasakan cukup mahal merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Nani Sumarni (41 tahun), misalnya, penduduku Kiaracondong, Bandung tidak mampu menyediakan uang sebanyak Rp 275.000,- sebagai pendaftaran uang masuk ke SDN babakan Sinyar, Kiaracondong, Bandung (Kompas, 11 Juli 2003).           
Saat ini kita menyaksikan institusi-institusi penopang karakter tak mampu mengimbanginya.  Mutu sekolah dan mutu guru yang rendah, pendidikan moral dan keperwiraan yang tak jelas, situasi sosial dan rumah tangga tak mendukung, dan anggaran pendidikan yang sangat kecil. Menurut laporan UNDP tahun 2003, Indonesia berada pada urutan 112 dari 175 negara di dunia dalam mencapai Human Development Index (HDI), dengan tiga indikator utama, yakni: (a) tingkat pendidikan, pengetahuan, angka melek hurup (AMH), dan rata-rata lama sekolah (RLS); (b) indeks kesehataan atau usia harapan hidup; dan (c) indeks daya beli (ekonomi). Pada jenjang pendidikan dasar, data Wolrd Bank (1998) menunjukkan rendahnya kemampuan membaca (reading ability) siswa SD dibanding anak-anak Hong Kong, Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Di sisi lain, data TIMSS (1997) menunjukkan rendahnya prestasi matematika dan sains siswa SLTP kita dibanding siswa lainnya yang berasal dari 40-an negara. Khusus untuk Jawa Barat, rarta-rata lama sekolah pada tahun 2002 baru mencapai 7,2 tahun atau rata-rata kelas 1 SMP, walaupun untuk Bogor, Bandung, Sukabumi, Bekasi dan Cirebon relatif lebih tinggi (Pikiran Rakyat, 2 Desember 2003).
            Kita juga menghadapi kenyataan, kondisi struktural tak memudahkan terjadinya mobilitas vertikal.  Kita dihadapkan pada fakta bahwa orang tak mudah untuk berubah akibat struktur yang mengekangnya.  Sebagian besar orang terjebak pada kurungan sosial karena akses ekonomi, politik dan sosial masih dalam kendali segelintir elit.  Ini terjadi karena feodalisme masih berakar kuat dan perilaku korup elit.  Untaian kata-kata indah dalam sejumlah UU yang dilahirkan dimasa reformasi menjadi tidak berarti.
            Rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra, juga mengungkapkan rasa keprihatinannya melihat kondisi pendidikan di negeri ini.  Ia mengatakan, pemerintah harus lebih serius dalam menyoroti masalah pendidikan.  Baik eksekutif maupun legislatif harus menunjukkan perhatiannya dengan memprioritaskan masalah kesejahteraan guru, peningkatan kemampuan guru dan kelengkapan fasilitas sekolah.  “Harus ada alokasi dana untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dana untuk melengkapi fasilitas sekolah.  Karena tanpa dua unsur tersebut maka pendidikan di Indonesia sulit untuk maju” (Media Indonesia, 27 Mei 2004).
            Sementara itu, kita mengetahui bahwa di dalam UUD 1945, Bab XIII, Pasal 31(ayat 1) menyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”.  Warganegara Indonesia berhak memperoleh pendidikan pada tahap manapun dalam perjalanan hidupnya -- pendidikan seumur hidup--, meskipun sebagai anggota masyarakat ia tidak diharapkan untuk terus-menerus belajar tanpa mengabdikan kemampuan yang diperolehnya untuk kepentingan masyarakat.  Pendidikan dapat diperoleh, baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah.  Sistem pendidikan nasional memberi kesempatan belajar seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Oleh karena itu, dalam menerima generasi tidak dibenarkan adanya perbedaan atas dasar jenis kelamin, agama, ras, suku, latar belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, kecuali apabila ada satuan atau kegiatan pendidikan yang memiliki kekhususan yang harus diindahkan (penjelasan UU RI No.2 Thn 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
            Berdasarkan penjelasan UU di atas, apabila pemerintah sungguh-sungguh melaksanakannya mungkin tidak akan ada anak putus sekolah atau fenomena anak jalanan, dll.  Akan tetapi pada faktanya UU tinggal UU karena prakteknya tidak seindah teori yang telah disusun oleh wakil-wakil rakyat itu.
            Butir penting pada penjelasan bahwa semua warga Negara berhak mendaptkan pendidikan (juga terdapat dalam pasal 5 USPN No.2 Thn 1989) pada faktanya hanya dapat dinikmati oleh kalangan yang memang punya dana untuk itu akan tetapi bagi masyarakat miskin alih-alih mengecap pendidikan berkualitas mendapat kesempatan untuk bersekolah saja tidak.  Memang pendidikan kita saat ini sudah berorientasi materi. Biaya pendidikan berkualitas, memang mahal, tetapi harus ada upaya-upaya kebijakan untuk menekan biaya pendidikan. Pemerintah Jepang, misalnya, memberi subsidi sebanyak  5 888,3 USD bagi setiap siswa atau sekitar 50 jutaan setiap tahun (Media Indonesia Online, 22 Juni 2004).
            Komersialisasi di dunia pendidikan sudah merata hampir di semua jenjang pendidikan kita.  Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kita tidak konsisten antara UU yang diterapkan dengan realisasinya di masyarakat.  Dimana perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan? Dimana tanggungjawabnya dalam membangun generasi ini? Bahkan ketika kritik tentang komersialisasi pendidikan ini mencuat, Mendiknas Abdul Malik Fadjar menanggapi sebagai berikut: “Yang penting itu terbuka, transparan, dan akuntabilitasnya terjamin.  Itu saja”, (Kompas 17 juni 2003).  Apakah hanya atas alasan demikian itu lalu bisnis pendidikan seolah-olah menjadi suatu hal yang rasional, produktif, efisien, wajar dan manusiawi ???
Pada dasarnya pendidkan bukan hanya tanggungjawab negara tetapi juga keluarga dan masyarakat.  Pada faktanya di Indonesia terjadi pembagian tugas untuk masing-masing pihak diatas.  Keluarga berdasarkan UU No.2/1989 Pasal 10 ayat 4, terbebani untuk menyelenggarakan pendidikan dalam keluarga yang terkategori pendidikan luar sekolah, dan bertugas untuk memberikan keyakinan agama, nilai moral dan keterampilan.  Sedangkan masyarakat diminta untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan ini, misalnya media massa diminta untuk mendukung penanaman nilai moral, dunia usaha dan orang-orang yang memiliki kemampuan diminta untuk memberikan beasiswa.
            Keluarga sebagai wadah pertama yang memberikan kontribusi dalam pendidikan generasi pada faktanya banyak sekali yang tidak menyadari betapa pentingnya peran mereka dalam menangani generasi sebagai aset berharga umat.  Tak jarang mereka memiliki tujuan untuk melahirkan generasi dambaan akan tetapi mereka tidak punya suatu pola yang baku yang selaras dengan tujuan mereka sehingga lahirlah generasi-generasi yang tidak sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan.
Itulah sebagian fakta yang menunjukkan kelemahan unsur keluarga yang umumnya tampak dari lalainya para orangtua untuk bersungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar ke-Islaman yang memadai bagi anak-anaknya.  Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orangtua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu pihak yang melakukan pendidikan.
Ironis memang! , belum lagi dengan berkembangnya ide-ide kebebasan, HAM dan demokrasi, orangtua menjadi “tidak enak” kalau tidak memberikan kebebasan bagi anak untuk menjadi apa saja yang dia inginkan padahal Islam memberikan kewajiban pada orangtua untuk mengarahkan anak-anaknya dengan kendali aturan agama.
Sementara itu keterlibatan masyarakat dalam pendidikan generasi dalam bentuk usaha-usaha mendirikan yayasan atau lembaga-lembaga pendidikan, pemberian beasiswa ataupun orangtua asuh sekalipun tidak menjamin pemerataan pendidikan bagi semua kalangan dan menghasilkan produk pendidikan seperti yang diharapkan.  Pengaruh berkembangnya ide materialisme yang telah menyentuh semua aspek kehidupan termasuk pendidikan, membuat masyarakat (swasta) yang melibatkan diri dalam pendirian sekolah-sekolah swasta melakukan komersialisasi.
Belum lagi peran media massa yang seharusnya mendukung penanaman nilai moral tetapi yang terjadi mereka malah menyuguhkan tayangan-tayangan yang tidak mendidik.  Pornografi, gaya hidup bebas, mistik, dll menjadi suguhan harian yang merusak kerja institusi keluarga dan juga sekolah.
Pendeknya, situasi masyarakat, sekolah dan keluarga tidak mendukung berkembangnya pribadi-pribadi yang berkarakter kuat dan unggul.  Padahal tarikan gaya hidup hedonis dan permisif sudah ditaburkan.  Semua hanya ingin menikmati manisnya tanpa mau berupaya keras.  Jika kecenderungan ini tak segera dihentikan maka di depan kita akan mengahdang beban berlimpah; kriminalitas yang tinggi, generasi loyo dan masyarakat yang tak kunjung berubah menjadi masyarakat yang lebih baik.
Dengan gambaran kehidupan seperti ini, mungkinkah kita memperoleh generasi yang sama-sama kita dambakan, yaitu generasi cerdas-generasi peduli bangsa? Dan mungkinkah kita menggantungkan harapan kepada mereka akan lahirnya pemimpin yang kita idam-idamkan?  Pemimpin yang amanah, adil, jujur dan bertanggungjawab??? Tentunya adalah tidak. 
             

Pendidikan Sekuler adalah Bagian dari Kehidupan Sekuler

Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem
pendidikan yang sekuler-materialistik.  Bila ada yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan feodal, maka watak sekuler-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai trasendental pada semua proses pendidikan, mulai dari peletakan filosofi pendidikan, penyusunan kurikulum dan materi ajar, kualifikasi pengajar, proses belajar mengajar hingga budaya sekolah/kampus sebagai hidden kurikulum, yang sebenarnya berperanan penting dalam penanaman nilai-nilai.Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal menghasilkan generasi cerdas, generasi peduli bangsa.
Sistem pendidikan sekuler-materialistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler.   Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan-pandangan dan nilai-nilai  Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan.  Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja.  Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.  Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Tapi, satu hal yang harus diperhatikan benar adalah bahwa gugatan yang menyangkut eksistensi atau peran agama di tengah masyarakat ini sebenarnya terjadi khas pada agama Kristen saja yang ketika itu memang sudah tidak lagi up to date.  Karenanya, menjadi suatu kejanggalan besar bila gugatan tadi lantas dialamatkan pula pada Islam, agama yang sempurna lagi paripurna dan diridlai Allah SWT bagi seluruh umat manusia.
Islam jelas tidak mengenal pemisahan antara urusan ritual dengan urusan duniawi.  Shalat adalah ibadah yang merupakan bagian dari syariat dimana seluruh umat Islam harus terikat sebagaimana keterikatan kaum muslimin pada syariat di bidang lainnya, seperti ekonomi dan sosial politik.  Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam adalah sebuah totalitas.  Dan merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim bila beriman kepada ajaran Islam sebagian dan menolak sebagian yang lain.  Oleh karena itu, benar-benar sangat aneh jika umat Islam ikut-ikutan menjadi sekuler.

Solusi Fundamental

Kegagalan pendidikan sekuler-materialistik dalam membangun generasi cerdas, generasi peduli bangsa disebabkan oleh dua hal berikut :
Pertama, paradigma pendidikan yang keliru dimana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler.  Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuleristik tadi, yakni sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.
Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni : 1). Kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya, 2). Kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan 3). Keadaan masyarakat yang tidak kondusif.
Kacaunya kurikulum yang berawal dari asasnya yang sekuler tadi kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya kepada proses penguasaan tsaqofah Islam dan pembentukan kepribadian Islam.
Pendidikan yang sekuler-materialistik memang bisa melahirkan orang yang menguasai sainsteknologi melalui “pendidikan umum” yang diikutinya, tapi pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan tsaqofah Islam.  Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap saja “buta agama” dan rapuh kepribadiannya?  Sementara mereka yang belajar dilingkungan “pendidikan agama”, memang menguasai tsaqofah Islam dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik, tapi di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi.  Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan dan jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, depag), tidak mampu terjun di sektor modern.
Kenyataan adanya dikotomi pendidikan umum dan agama sebagai kendala dalam menghasilkan generasi cerdas, generasi peduli bangsa sudah mulai dirasakan oleh beberapa Rektor IAIN negeri ini. Meskipun landasannya semata-mata karena mengikuti tuntutan perkembangan jaman.  Misalnya, Rektor IAIN Walisongo, Semarang, Jateng, Prof. Dr. Abdul Jamil.  Beliau mengatakan bahwa kini IAIN berhadapan dengan mahasiswa yang heterogen.  Untuk berkompetisi dengan perguruan tinggi lain, IAIN harus bisa menciptakan pendidikan tinggi yang sesuai dengan kebutuhan masa depan.  IAIn yang selama ini konsentrasi dengan ilmu keIslaman, jangan sampai konservatif seperti pada tahun 1960-an. 
Kini IAIN harus terbuka dengan ilmu pengetahuan umum.  Hal itu untuk antisipasi ke depan.  “IAIN tidak boleh stagnan, melainkan harus bisa memperkirakan potret masa depan.  Pengembangan program studi di IAIN, keniscayaan yang tak terelakkan, antisipasi ke depan, “ katanya menanggapi upaya Depag dalam mengembangkan kurikulum IAIN, agar lulusan IAIN memiliki kompetensi di bidangnya.  Hal senada juga dingatkan oleh Prof. Ridwan Nasir, Rektor IAIN Sunan Ampel, Surabaya.  Hanya saja beliau mengingatkan bahwa “ IAIN tidak harus mengubah diri menjadi universitas jika ingin memasukkan program studi umum.  IAIN harus mempunyai cirri khas tersendiri, jika IAIN dirubah menjadi universitas, kata Nasir, dikhawatirkan roh dari IAIN sendiri sedikit demi sedikit akan hilang.” (Media Indonesia, 27 Mei 2004).
Selain itu  kita juga melihat bahwa fungsi guru/dosen tidak berjalan sebagaimana mestinya serta rusaknya proses belajar mengajar yang tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam prose transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak yang tidak lagi pantas diteladani.
Lingkungan fisik sekolah/kampus yang tidak tertata dan terkondisi secara Islami (ditambah dengan minimnya sarana pendukung, seperti masjid/mushola) turut menumbuhkan budaya tidak memacu proses pembentukan kepribadian peserta didik.  Akumulasi kelemahan pada unsur sekolah/kampus itu akhirnya menyebabkan tidak optimalnya pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Begitu halnya dengan kelemahan pada unsur keluarga yang umumnya tampak dari kelalaian para orang tua untuk secara bersunguh-sungguh menanamkan dasar-dasar keislaman yang memadai kepada anaknya.  Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.
Sementara itu masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan acuh tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media massa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat.  Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak  menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik.  Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.
Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan yang sekuler menjadi paradigma Islam.  Dan ini hanya mungkin dilakukan pada skala kebijakan oleh pemerintah bukan skala individu ataupun kelompok.  Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam. Wallahu a’lamu bis showab.****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar