Pages

Site Info

Rabu, 31 Agustus 2011

Distorsi Pemikiran dalam Metode Dakwah Islam

Oleh: Ahmad Mahmud
Publikasi 14/02/2004

hayatulislam.net – Dalam konteks perjuangan dakwah Islam, kita acapkali menjumpai sejumlah pemikiran yang dilontarkan oleh sebagian ulama, pemikir, jamaah, atau partai Islam yang telah keluar dari manhaj Rasulullah saw., di samping mengalami banyak distorsi. Fenomena semacam ini tidak jarang malah mewujud dalam aktivitas dakwah yang bukan saja kontradikstif dengan metode dakwah Rasulullah saw., tetapi sekaligus juga kontraproduktif dengan realitas yang harus diubah.

Berkaitan dengan sejumlah distorsi pemikiran yang terkait dengan metode dakwah Rasulullah saw. ini, tulisan berikut hanya akan menyoal dua mainstream pemikiran yang, diakui ataupun tidak, turut mewarnai arah perjuangan dakwah Islam saat ini secara keseluruhan. Kedua pemikiran tersebut adalah: (1) Pemikiran yang menyatakan bahwa bagi kaum Muslim, yang dituntut sesungguhnya adalah ibadah, bukan mendirikan Daulah Islamiyah; (2) Pemikiran yang meyakini bahwa mengangkat senjata dalam menghadapi penguasa saat ini merupakan bagian dari metode dakwah yang wajib untuk diikuti.

Pemikiran Pertama


Pengemban pemikiran pertama berargumentasi bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengajak kaum Muslim untuk beribadah kepada Allah dan tidak mengajak mereka untuk mendirikan Daulah Islamiyah. Mereka menyatakan pula bahwa permasalahan paling utama bagi kaum Muslim adalah ibadah kepada Allah dan bukan Daulah Islamiyah. Menurut mereka, tidaklah penting bagi kita untuk mendirikan Daulah Islamiyah; yang penting adalah menyembah Allah.


Untuk menjawab argumentasi mereka, kita harus menentukan realitas dan realisasi ibadah itu sendiri.

Sebagaimana kita pahami, Allah Swt. memang telah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah kepada Allah Swt. merupakan raison d’etre dari diciptakannya manusia. Kesaksian Lâ ilâha illâ Allâh (Tidak ada tuhan selain Allah) sendiri bermakna Lâ ma’bûda illâ Allâh (Tidak ada yang layak disembah selain Allah). Artinya, selain Allah Swt. wajib diingkari. Sementara itu, kesaksian Muhammad Rasulullâh (Muhammad adalah utusan Allah) berarti bahwa ibadah dan ketaatan haruslah sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad Rasulullah saw. saja. Dengan demikian, ibadah ditujukan semata-mata untuk Allah, dan tidak dilakukan kecuali dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah, yakni yang dibawa oleh Rasulullah saw. saja. Inilah hal yang wajib untuk direalisasikan di dalam setiap perkataan dan perbuatan manusia di dalam kehidupannya.

Ibadah adalah menjadikan setiap perbuatan manusia berjalan sesuai dengan perintah dan larangan Allah Swt. Hendaknya semua itu dilakukan dengan didasarkan pada keimanan kepada-Nya semata. Ketika Anda berkata pada seorang Muslim, “Hendaklah Anda mengabdi kepada Allah,” maka yang dimaksud tentu bukan sekadar agar dia melakukan shalat, zakat, haji, atau ibadah ritual lainnya; sebagaimana yang telah ditulis oleh para fuqaha di dalam bab ibadah.
Akan tetapi, yang dimaksud tentu saja agar dia menjalankan seluruh ketaatan kepada Allah Swt. dalam setiap perintah dan larangan-Nya.

Iman kepada Allah adalah pokok atau dasar keimanan, sedangkan ibadah itu sendiri merupakan realisasi setiap perbuatan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah Swt. ini. Atas dasar ini, agama seluruhnya adalah ibadah, sedangkan ibadah berarti ketundukan diri kepada Zat yang diibadahi dengan penuh kepasrahan.

Di antara jenis ibadah dan ketaatan kepada Allah Swt. adalah melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar, jihad fi sabilillah untuk memerangi orang-orang kafir dan munafik, menegakkan agama Allah di dalam kehidupan kaum Muslim, menyebarkan dakwah ke tengah-tengah manusia semuanya, serta memelihara kesatuan kaum Muslim sebagaimana tampak dalam shalat, zakat, dan berdirinya Daulah Islamiyah. Artinya, ibadah kepada Allah Swt. meliputi setiap perbuatan manusia yang dilakukan oleh seorang Muslim sesuai dengan realitas di mana dia hidup. Akan tetapi, oleh karena keimanan kepada Allah Swt. adalah pangkal setiap ibadah, maka dakwah pada keimanan ini harus lebih didahulukan daripada dakwah kepada shalat dan shaum, misalnya. Diharapkan, keimanan inilah yang akan memotivasi seorang Mukmin untuk senantiasa terikat dengan hukum syariat di dalam setiap perbuatannya.

Kita memahami bahwa dakwah untuk menegakkan Islam dan berhukum dengan wahyu Allah merupakan salah satu perintah Allah yang wajib ditaati dan dikerjakan seorang Mukmin yang beriman kepada Allah. Dengan begitu, ibadah akan terealisasi dengan sempurna. Oleh karena itu, kita wajib mengaitkan dakwah (seruan) pada aktivitas beribadah kepada Allah dengan berbagai problem sekarang ini. Semua ini tercakup di dalam aktivitas dakwah pada upaya melanjutkan kehidupan islami. Kehidupan islami tidak akan pernah teralisasi kecuali dalam Daulah Islamiyah. Oleh karena itu, dakwah untuk mendirikan Daulah Islamiyah pada dasarnya adalah dakwah ke arah aktivitas ibadah kepada Allah.

Walhasil, adanya pemikiran yang menyerukan ibadah kepada Allah sembari menolak seruan untuk menegakkan Daulah Islamiyah—yang justru merupakan institusi yang bisa menjamin aktivitas ibadah kepada Allah berjalan dengan sempurna—merupakan pemikiran keliru. Alasannya, pemikiran semacam ini menunjukkan bahwa seolah-olah mendirikan Daulah Islamiyah kontradiktif atau kontraproduktif dengan ibadah, di samping di dalamnya mengandung upaya untuk membenturkan sebagian ayat al-Quran dengan sebagian ayat yang lain.
Tindakan seperti ini jelas haram dilakukan oleh kaum Muslim.


Pemikiran Kedua


Para pengemban pemikiran kedua, yakni mereka yang berpendapat bahwa mengangkat senjata dalam menghadapi penguasa sekarang ini adalah bagian dari metode dakwah yang wajib untuk diikuti, berdalil dengan hadis Rasulullah saw. tentang keharusan untuk memerangi penguasa yang tidak menegakkan hukum Allah.

Untuk menjawab pemahaman ini, kami ingin menegaskan bahwa diperlukan eksplorasi fakta (tahqîq al-manâth) atas hadis ini secara cermat.

Sebagaimana kita pahami, hadis ini menyoroti penguasa (khalifah) di dalam Darul Islam (Daulah Islam) yang dibaiat dengan baiat yang sesuai dengan ketatapan syariat. Darul Islam sendiri adalah institusi negara yang diperintah dengan hukum Islam dan keamanannya berada sepenuhnya di tangan kaum Muslim. Dalam kondisi semacam ini, kaum Muslim diperintahkan untuk selalu menaati pemimpinnya, yakni khalifah. Jika penguasa (khalifah) melakukan kelalaian dalam menerapkan hukum Allah dan malah memerintah kaum Muslim dengan hukum-hukum kufur—meskipun hanya dengan satu hukum, sementara dia tidak memiliki satu dalil pun, meskipun hanya syubhah dalîl—maka kaum Muslim diperintahkan untuk memeranginya. Lebih jelasnya, sebagaimana dituturkan oleh ‘Auf ibn Malik al-Asyja’i, disebutkan demikian:

Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Sebaliknya, seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian.” Ditanyakan, “Ya Rasulullah, apakah kami harus mengangkat senjata ketika hal itu terjadi?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka menegakkan shalat.” [HR. Muslim].

Kalimat selama menegakkan shalat mengandung makna kinâyah, yakni selama menerapkan hukum-hukum syariat.

Penguasa Darul Islam (khalifah) tentu berbeda realitasnya dengan penguasa Darul Kufur (presiden atau raja). Presiden atau raja, sebagaimana dijumpai di seluruh negeri Islam, bukanlah imam atau khalifah bagi kaum Muslim, meskipun mereka memerintah kaum Muslim. Negara mereka bukanlah negara Islam (Darul Islam). Mereka sendiri tidak diangkat menduduki jabatan penguasa dengan pengangkatan yang sesuai dengan syariat. Selain itu, mereka tidak menerapkan hukum-hukum Islam (secara total) dalam kehidupan kaum Muslim, meskipun hal itu wajib atasnya. Menghadapi dan sekaligus mengubah realitas semacam ini tentu tidak dengan mengangkat senjata. Inilah juga yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Makkah, yakni ketika Daulah Islam belum berdiri.

Jika kita menelaah sirah Rasulullah saw., akan kita temukan bahwa dalam melakukan perubahan, beliau menjamin terwujudnya beberapa aspek berikut: (1) Tersedianya pemimpin Muslim politikus yang hebat. Dia adalah pemimpin yang memiliki pengalaman bertahun-tahun—yang dia dapatkan dari aktivitas mengemban dakwah sebelum mendirikan Daulah Islamiyah; yang mengetahui strategi, kedustaan, dan kelicikan negara-negara kafir; serta yang mampu melindungi negara dan membawanya berpindah kepada posisi yang layak dalam percaturan dunia. (2) Tersedianya para pemuda Muslim yang siap menanggung beban dakwah sebelum berdirinya negara. Merekalah yang, bersama kaum Muslim lain yang mementingkan dakwah, akan menjadi pusat kekuasaan yang islami. Merekalah pula yang kelak—setelah berdirinya Daulah Islamiyah—akan menjadi para wali, amirul jihad, para duta negara, dan para pengemban dakwah ke negara-negara lain. (3) Tercukupinya dukungan massa yang siap-sedia untuk menjaga serta melindungi Islam dan Daulah Islam. (4) Tercukupinya orang-orang yang memiliki kekuatan dan terlatih yang akan semakin kuat dengan adanya keberpihakan masyarakat kepada mereka, terutama ketika masyarakat menyadari bahwa penguasa, struktur kekuasaannya, dan kekuatan yang mendukungnya harus merealisasikan penerapan Islam dan memuliakan agama.

Selain beberapa alasan di atas, aktivitas bersenjata membutuhkan harta, senjata, dan pelatihan. Hal semacam ini akan menggerogoti kekuatan sebuah harakah dakwah sehingga, boleh jadi, akan mendorongnya untuk meminta bantuan kepada pihak lain. Tindakan semacam ini akan menjadi cikal-bakal kejatuhan gerakan dakwah tersebut. Banyak gerakan Islam yang telah mencoba jalan ini dan selalu mengalami kehancuran.

Dengan demikian, kami ingin mengatakan bahwa, mengangkat senjata dalam melakukan perubahan di tengah-tengah realitas sosial dan politik seperti sekarang ini bukanlah bagian dari metode yang sesuai dengan syariat. Hal ini bukan karena kami menyayangi penguasa yang zalim dan tidak memperhatikan kaum Muslim, tetapi justru karena kami sayang kepada saudara-saudara kami seagama yang berjuang secara ikhlas.
Oleh karena itu, kami ingin menyatukan seluruh potensi dan usaha mereka agar semata-mata sesuai dengan tuntutan syariat. Dalam hal ini, kami ingin mengingatkan mereka dalam kaitannya dengan larangan Nabi saw. kepada para sahabat di Makkah untuk menggunakan senjata (kekerasan) ketika mereka ingin melakukannya. Beliau bersabda, “Sungguh, aku diperintahkan untuk memberi maaf. Oleh karena itu, janganlah kalian memerangi mereka.” (Sirah Ibn Hisyam).

Allah Swt. sendiri berfirman:
“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari melakukan tindakan kekerasan/angkat senjata), dirikanlah sembahyang, dan tunaikanlah zakat!” (Qs. an-Nisa’ [4]: 77).

Banyak sekali dalil-dalil syariat yang serupa dengan itu yang intinya menegaskan bahwa dakwah Rasulullah saw. adalah dakwah tanpa kekerasan. Tambahan atau perubahan apa pun, juga pengurangan, penggantian, atau penyelewengan atas metode dakwah Rasulullah saw. pasti hanya akan segera memberikan pengaruh negatif bagi dakwah, jamaah, dan umat Islam sendiri.
Wallâhu a’lam.


Sumber: al-Wa’ie Edisi 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar