Pages

Site Info

Rabu, 31 Agustus 2011


Mendekatkan Diri Kepada Allah DENGAN SELURUH AKTIVITAS

Oleh: Ummu Hafizh
Publikasi 14/10/2003

hayatulislam.net – Mukaddimah
Awal dari ringkasan buku ini, saya ingin mengutarakan suatu hadits Rosulullah SAW yang merupakan nasihat bagi kita semua. Telah datang kepada Rasulullah SAW. Sufyan bin Abdullah Ats Tsaqafiy suatu hari lalu berkata:
“Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu perkara yang aku berpegang teguh kepadanya”. Bersabda Rosulullah SAW: “Katakanlah: Saya beriman kepada Allah. Kemudian beristiqomahlah.” [HR Muslim].

Sesungguhnya pemikiran Islam adalah mafahim (mafahim yang dimaksud disini adalah pandangan hidup, yakni sekumpulan ide-ide, pemikiran-pemikiran tentang kehidupan yang dimiliki oleh seseorang sedemikian rupa hingga mampu mempengaruhi tingkah laku orang tersebut), bukan sekedar informasi untuk pengetahuan belaka. Ia merupakan patokan bagi tingkah laku manusia dalam kehidupan dunia. Islam datang sebagai petunjuk, rahmat, dan nasihat, sekaligus juga merupakan pemecahan problema bagi segala persoalan manusia serta menentukan arah tingkah laku manusia. Oleh karena itu, setiap muslim wajib memahami Al-Quran dan As-Sunnah yang memang khusus diturunkan untuk mengatur aktivitas dan perilaku manusia. Oleh sebab itu, dalam Islam yang lebih menonjol adalah aspek amaliyah (peng-amal-an) daripada aspek pengajaran. Perlu disadari disini apabila Islam hanya diambil aspek pengajarannnya, akan hilang warna aslinya dan hanya akan menjadi pengetahuan seperti ilmu sejarah dan geografi. Akibatnya akan hilang energi hidupnya dan hilang eksistensinya sebagai Agama yang lengkap dan sempurna.

Oleh karena itu para ulama salafus shalih senantiasa menjadikan diri mereka sebagai pelaku dari ilmu mereka. Perbuatan mereka tidak mendustakan ucapan mereka. Allah SWT berfirman:

“Mengapa kalian memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri. Padahal kalian membaca kitab, tidakkah kamu memikirkan?” (Qs. al-Baqarah [2]: 44).



Mereka berusaha untuk tidak menjadikan diri mereka tergolong kepada orang-orang yang disebut dalam firman Allah seperti keledai yang memikul kitab-kitab tebal

“Perumpamaan orang-orang yang dibebankan atas mereka Taurat kemudian mereka tidak mengembannya (mengamalkan dan mengajarkannya) adalah seperti keledai yang memikul kitab-kitab tebal, itulah sejahat-jahat contoh bagi kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Allah tidak akan memberi petunjuk bagi orang-orang yang dholim.” (Qs. al-Jumu’ah [62]: 5).

“Yang akan menghancurkan umatku ada dua golongan manusia: yaitu orang alim yang fajir dan orang jahil yang rajin beribadah”, lalu ditanyakan: “Wahai Rasulullah, mana yang paling jahat?” Rasulullah menjawab:”Ulama yang berbuat kerusakan.” [HR. Ibnul Abdil Bar, dalam kitab Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadlihi].

Dari sini dapat dikatakan bahwasannya pengetahuan tentang pemikiran Islam dan hukum-hukum Islam tanpa memperhatikan fungsinya sebagai patokan tingkah laku manusia adalah termasuk bencana yang menyebabkan pemikiran dan hukum-hukum tersebut tidak mempengaruhi prilaku orang banyak. Ini merupakan dosa nyata dan akan mendapat siksa yang pedih di hari kiamat. Hari yang ketika itu tidak bermanfaat anak-anak dan harta benda, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang ikhlas.

Dan point yang terpenting lagi adalah Islam itu mendorong seorang muslim untuk membentuk dan mempunyai kepribadian Islam. Dengan Aqidah Islam yang dia punyai seorang muslim membentuk aqliyah (cara berfikir) dan nafsiyahnya (kecenderungan-kecenderungan dia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup). Aqliyah Islamiyah atau cara berfikir Islami adalah cara berfikir atas asas Islam, artinya hanya menjadikan Islam sebagai satu-satunya tolok ukur umum (al miqyaas al ‘aam) bagi pemikiran-pemikirannya tentang kehidupan. Nafsiyah Islamiyah adalah menempatkan seluruh kecenderungannya diatas asas Islam . Artinya, menjadikan Islam sebagai satu-satunya tolok ukur umum dalam memenuhi seluruh pemuasan atas kebutuhan-kebutuhannya.

Untuk membentuk Kepribadian yang Islami ini ada tiga cara. Pertama, menanamkan pada diri kita tentang Aqidah Islam, sehingga kita sadar bahwa diri kita seorang muslim bukan orang kafir. Kedua, Bertekad menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan dalam berfikir, menilai segala sesuatu dan dijadikan landasan dalam bersikap dan berperilaku. Dengan tekad ini seseorang telah memiliki cara berfikir Islami (Aqliyah Islamiyah) dan kecenderungan yang Islami (Nafsiyah Islami). Meskipun kita sudah melakukan dua langkah tersebut, kita harus bersikap maksimalis untuk menyempurnakan diri menjadi mukmin yang muttaqin dan menjadikan berjalan di jalan yang luhur dan akan mencapai ridha Allah SWT dunia akherat. Oleh karena itu langkah Ketiga, Meningkatkan Aqliyah (cara berfikir) dengan meningkatkan pengetahuan-pengetahuan tentang Islam sehingga kita semakin mampu menilai setiap pemikiran yang kita hadapi. Untuk meningkatkan nafsiyahnya (kecenderungannya) sehingga kita mampu menolak kecenderungan-kecenderungan melanggar Islam, bisa dengan hidup dalam suasana keimanan atau menciptakan suasana keimanan sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban, memperbanyak amalan-amalan yang sunnah dan mencegah perbuatan-perbuatan haram, makruh dan syubhat.

Rasulullah Bersabda:
“Tidaklah beriman salah seorang diantara kamu sehingga menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa (Islam) yang kubawa ini.” [HR. Imam Nawawi, dalam kitab Al Arba’in An Nawawi].

Semoga buku ini mampu meningkatkan kepribadian Islam kita, dengan mengamalkan apa yang kita pelajari bersama, kita berharap mampu menjaga cara berfikir kita dan kecenderungan kita selalu bersandar pada Islam, sehingga tidak ada rasa keberatan sedikitpun dari hati kita untuk menjalankan Islam dalam kehidupan sehari-hari secara kaffah. InsyaAllah dengan kita semakin dekat kepada Allah, Allah akan mencintai kita. Tidak ada hal yang terindah bagi seorang hamba kecuali menjadi kekasih Allah. Rosulullah telah menyatakan dalam hadits:

“Jika seorang hamba mendekat kepadaKu sejengkal, Aku mendekatinya sehasta. Jika ia mendekatiKu sehasta, Aku mendekatinya sedepa. Jika ia datang kepadaKu dengan berjalan, Aku mendekatinya dengan berlari.” [HR. Bukhari].

“Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah nafilah hingga Aku mencintainya. Kalau aku sudah mencintainya Aku menjadi pendengarannya yang ia mendengarnya dan Aku menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya. Dan Aku menjadi tangannya yang ia pergunakan. Dan Aku menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya. Jika dia meminta kepadaKu niscaya akan Kuberi. Dan jika ia memohon perlindungan kepadaKu, niscaya akan Kulindungi.” [HR. Bukhari].

“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian. Dan orang-orang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah akan menghapus amal-amal mereka. Ini dikarenakan mereka sungguh-sungguh membenci apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an) lalu Allah menghapus (pahala-pahala) amal-amal mereka. Apakah mereka tidak berjalan dimuka bumi sehingga dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka. Allah menghancurkan mereka dan orang kafir-kafir itu akan menerima (akibat-akibat) semisal mereka. Hal ini dikarenakan sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir itu tidaklah memiliki pelindung.” (Qs. Muhammad [47]: 7-11).


MAKNA TAQARRUB

Taqorrub kepada Allah adalah setiap aktivitas yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah SWT, baik berupa pelaksanaan kewajiban, sunnah-sunnah nafilah, maupun bentuk-bentuk ketaatan yang lainnya. Pengertian Taqarrub kepada Allah tidak terbatas pada aktivitas ibadah semata, sebagaimana yang diduga kebanyakan kaum muslimin dimasa kini. Namun, pengertian taqarrub mencakup pula seluruh aktivitas dalam mu’amalat, akhlaq, math’umat (yang berkaitan dengan makanan), malbuusat (yang berkaitan dengan pakaian) bahkan uquubat (pelaksanaan sanksi-sanksi hukum di dunia oleh Daulah Khilafah). Dalam hadits qudsy Allah berfirman:

“Dan tiad bertaqarrub (menekat) kepada-Ku seorang hamba-Ku dengan sesuatu yang lebih aku sukai daripada menjalankan kewajibannya.” [Shahih Bukhari juz XI/292,297].

Imam Ibnu Hajar berkata:”Termasuk dalam lafazh tersebut adalah seluruh kewajiban, baik fardhu ain, maupun fardhu kifayah. Sehingga bisa pula diambil pengertian darinya bahwa pelaksanaan perbuatan-perbuatan yang fardhu adalah aktivitas yang paling disukai oleh Allah SWT”. Mulai dari pelaksanaan shalat, pembayaran zakat, berbakti kepada kedua orang tua, menuntut ilmu, berjihad fisabilillah, beramar makruf nahi mungkar, bersikap jujur dan ikhlas lillahi ta’ala dalam berbuat serta istiqomah, memakan makanan yang halal dan baik, serta menutup aurot bagi perempuan dan laki-laki, sampai pelaksanaan hukum-hukum hudud syar’iyyah oleh negara atas tindakan kriminal, dan kewajiban-kewajiban yang lainnya, semua itu termasuk dalam aktivitas-aktivitas yang akan mendekatkan diri seorang hamba yang mukmin kepada Rabb-nya.

Al-Qur’an telah mengemukakan beberapa kewajiban dan dianggap sebagai ‘qurbah’ (pendekatan). Salah satu diantaranya adalah infaq fisabilillah, maksudnya unk urusan jihad. Dan Alqur’an menganggap sebagai pendekatan yang besar (pengorbanan yang besar) yang diberikan seorang mukmin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

“Diantara orang-orang Arab Badui terdapat orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan menjadikan harta yang dia nafkahkan sebagai pendekatan disisi Allah dan jalan untuk mendapatkan do’a Rosulullah. Ketahuilah itu memang merupakan pendekatan bagi mereka. Allah akan memasukkan ke dalam rahmatNya (surga). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. At-Taubah [9]: 99).

Al-Qur’an menjelaskan bahwa taqarrub kepada Allah bisa ditempuh dengan melakukan ketaatan-ketaatan dan ibadah serta amal-amal yang shalih. Allah SWT berfirman:

“Bukanlah harta-harta dan anak-nak kalian dan anak-anak kalian yang dapat mendekatkan diri kalian kepada Kami, tetapi orang-orang yang beriman dan beramal sholih, merekalah orang yang mendapatkan pahala yang berlipat ganda karena apa yang mereka kerjakan. Dan mereka akan berada ditempat-tempat yang tinggi (surga) dalam keadaan aman” (Q.S Sabak [34]:37)

As-Sunnah juga menjelaskan bahwa diantara aktivitas yang mendekatkan diri seorang hamba kepada Rabb-nya adalah perbuatan sunnah-sunnah nafilah.

“Tak henti-hentinya seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan perbuatan sunnah nafilah, hingga Aku mencintainya” (HR Bukhari)

Dalam buku ini menyajikan beberapa contoh (tidak semuanya) pendekatan diri kepada Allah dan ketaatan kepadaNya sebagai tambahan yang sangat dibutuhkan oleh setiap muslim. Diantaranya adalah Mengihsankan amal dengan keikhlasan kepada Allah semata dan menyesuaikan diri dengan hukum Allah Senantiasa melaksanakan kewajiban Memperbanyakan amalan sunnah nafilah seperti shalat rowatib, tilawah Alqur’an, do’a, dzikir dan istigfar Pemurah dan mengutamakan orang lain Cinta dan benci karena Allah Takut kepada Allah Percaya kepada Janji Allah Sabar terhadap ujian Dan Taat kepada Qiyadah yang memimpin ummat untuk melanjutkan kehidupan Islam kesemua ummat dan bangsa.

IHSAN DALAM BERAMAL

Syarat amalan yang baik (amal hasan) ada dua Pertama, meniatkan hanya karena Allah dan Kedua, sesuai dengan hukumnya Allah. Oleh karena itu para imam dari ulama salaf senantiasa mengumpulkan dua unsur pokok ini.

Al Fudlail bin ‘Iyadl dalam menjelaskan firman Allah:
“…agar Dia menguji kamu siapa diantara kalian yang terbaik amalnya.” (Qs. al-Mulk [67]: 2).

Mengatakan: “Yang terbaik amalnya adalah yang terikhlas dan terbenar amalnya”. Ketika ditanya:”Wahai Abu Ali apa yang terikhlas dan terbenar?” Dia menjawab:”Sesungguhnya amal yang benar tetapi tidak dilakukan dengan ikhlas, tidak akan diterima. Dan jika dilakukan dengan ikhlas tapi tidak dengan cara yang benar juga tidak diterima. Amal itu hanya bisa diterima kalai ikhlas dan benar. Ikhlas hanya terwujud jika amal itu dilakukan hanya karena Allah. Dan Amal yang benar hanya bisa dicapai dengan mengikuti sunnah Nabi SAW”

Dari Sa’id bin Zubair ia berkata: “Tidak diterima suatu perkataan melainkan diiringi amal, dan tidak akan diterima perkataan dan amal kecuali disertai dengan niat, dan tidak akan diterima perkataan, amal dan niat kecuali disesuaikan dengan sunnah Nabi SAW”

Umar bin Khaththab ra. Selalu berdoa: “Ya Allah jadikanlah amalku semuanya amal salih dan janganlah Engkau jadikan amal itu untuk seorangpun”

Dari sini dapat dimengerti wajibnya memelihara ikhlas dan niat yang baik pada seluruh amal. Oleh karena itu seringkali para ulama salaf terdahulu hadits “Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat. Dan setiap orang dinilai dari niatnya” (HR Bukhari, Muslim), sebagai pembuka dalam setiap karya mereka. Dalam pandangan mereka ikhlas itu adalah kesamaan perbuatan seorang hamba luar dalam.

Imam Abi Al Qasimy Al Qusyairiy mengatakan: “Ikhlas adalah menjadikan tujuan taat satu-satunya hanyalah kepada Allah SWT Yang Maha Benar. Artinya, yang ia inginkan dalam ketaatannya hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan yang lain, seperti mengambil hati kepada makhluq, mencari pujian orang-orang, senang dipuji oleh makhluq dan lain-lain”.

Alangkah indah ucapan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah: “Kadar pertolongan Allah kepada para hambaNya hanyalah sesuai dengan kadar niat-niat yang mereka canangkan. Siapa saja yang sempurna niatnya sempurna pula pertolongan Allah kepadanya. Siapa saja yang kurang niatnya, kurang pula pertolongan Allah kepadanya”

Diantara tanda-tanda keikhlasan dalam diri seseorang adalah rasa tunduk kepada kebenaran dan mau menerima nasihat walaupun dari orang yang tidak setara dengannya. Ia pun tidak merasa sempit di dunia ini kalau kebenaran ternyata tampak pada orang lain.

SENANTIASA MELAKSANAKAN KEWAJIBAN

Kewajiban yang difardhukan oleh Allah kepada kaum muslimin itu banyak sekali jumlah dan macamnya. Dalam bab ini yang dikupas adalah “Melaksanakan Sholat Lima Waktu” Allah SWT berfirman:

“Dan orang-orang yang senantiasa memelihara sholatnya merekalah orang-orang yang mewarisi. Yaitu mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal didalamnya.” (Qs. al-Mukminun [23]: 9-11).

Islam telah mengecamkan orang yang melalaikan perintah sholat tersebut dalam Firmannya:

"Celakalah orang-orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai dalam sholatnya.” (Qs. al-Ma’un [107]: 4-5).

Sebuah riwayat yang disandarkan pda Umar bin Abdul Aziz menyebutkan bahwasannya dia berkata: “Sesungguhnya orang yang melalaikan sholat akan sangat melalaikan hukum-hukum Islam yang lain”. Hal ini berarti tidak akan menjadikan orang yang jujur dan terpercaya.

Tuntunan melaksanakan sholat bukan sekedar melaksanakan sholat. Allah SWT telah memerintahkan untuk melaksanakan sholat dan bersabar atas kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam mengerjakannya


“Perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan sholat dan bersabar atasnya. Kami tidak meminta rizki tapi Kamilah yang memberi rizki. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang yang bertaqwa.” (Qs. Taahaa [20]: 132).

Sholat hendaknya dilakukan dengan khusu’, memahami makna bacaan, menghilangkan segala yang terlintas dalam hati lantaran mendengar atau melihat sesuatu. Hal ini ditempuh dengan menghadap kiblat, melihat tempat sujud, memelihara diri dari obyek-obyek bergambar dan tidak membiarkan apa saja yang menyibukkan perasaannya.

Orang yang mengerjakan sholat hendaknya menyelesaikan kesibukannya sebelum shalat dan mengkonsentrasikan diri untuk mengingat akherat. Hendaklah kita mengingat segala marabahaya pada saat menghadap Allah. Kita pun berharap pahalaNya dengan shalat kita ini dan takut akan siksaNya apabila melalaikannya.

Berikut ini gambaran sholat para salaf sholih rahimahullah: Berkata Umar bin Abdul Aziz suatu hari pada Ibnu Abi Milikiyah: “Terangkanlah kepada kami sifat Abdullah bin Zubair”. Ia menjawab: “Demi Allah, belum pernah aku melihat seseorang ruku’ seperti dia. Apabila dia memasuki shalat maka dia keluar dari segala sesuatu untuk mengkonsentarsikan diri kedalam sholat. Manakala dia ruku’, burung-burung pipit hinggap diatas punggung dan tengkuknya. Saking panjang rukuk dan sujudnya, niscaya anda mengira seolah-olah itu hanya dinding runtuh atau pakaian jatuh. Tatkala peluru batu yang dilempar dari manjaniq melewati antara jenggot dan dadanya pada saat dia sedang shalat, demi Allah, ia tidak merasakannya. Ia tak terguncang karenanya. Ia tidak memotong bacaannya dan tidak mempercepat rukuknya.

Sa’id bin Al Musayyab berkata: “Aku telah melaksanakan haji 40 kali. Aku tak pernah ketinggalan takbir pertama sejak 50 tahun dan aku tidak melihat punggung seseorang dalam sholat (maksudnya punggung orang didepannya, karena beliau di shaf terdepan) sejak 50 tahun.

Untuk ringkasan selanjutnya membahas tentang: Memperbanyakan amalan sunnah nafilah seperti shalat rowatib, tilawah Alqur’an, do’a, dzikir dan istigfar. Pemurah dan mengutamakan orang lain. Cinta dan benci karena Allah dan Takut kepada Allah


Semoga ringaksan buku ini bermanfaat buat kita semua.


Ringkasan Dari Buku “Taqarrub Ila Allah” satu dari tiga tulisan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar