Di Roma, pada suatu seminar yang diadakan gereja pada abad pertengahan, membahas suatu permasalahan krusial; hakikat wanita. Ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab pada diskusi tersebut. Apakah nyawa wanita sama dengan nyawa pria? Ataukah ia hanya memiliki nyawa seperti nyawa hewan, anjing dan musang? Di penghujung acara sebagai konklusi disebutkan bahwa wanita itu tidak memiliki nyawa sama sekali, dikarenakan ia tidak akan dibangkitkan pada kehidupan yang kedua kalinya (Emansipasi; Adakah Dalam Islam? Abd. Rahman al Baghdadi, GIP).
Kaum wanita boleh saja tersinggung dengan keputusan seminar tersebut, tapi siapa yang peduli? Kaum pria pada masa itu di Eropa adalah penguasa tunggal, termasuk berdiri mengangkangi wanita. Orang-orang Eropa itu tidak tahu atau tidak mau tahu, bahwa Islam telah turun dengan seperangkat aturan yang menempatkan wanita setara dengan pria dan sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Islam pun memuliakan wanita dan membebaskan wanita dari persepsi negatif tradisi jahiliyah yang sudah kepalang mengasumsikan melahirkan anak perempuan adalah suatu aib besar.
Kesetaraan Pria dengan Wanita
يَاَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّ أُنْثَى وَ جَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَّ قَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal...”(QS. Al Hujurat:13).
يَأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِى خَلَقَكُم مِّنْ نَّفْسٍ وَّحِدَةٍ وَّ خَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَ بَثَّ مِنْهُمَا رِجَلاً وَ نِسَاءً
“Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari seorang diri dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak,”(an Nisaa’:1)
Ketika Islam memandang sekelompok besar pria maupun wanita sebenarnya ia memandang mereka sebagai kelompok besar umat manusia, yang otomatis di dalamnya ada pria dan wanita. Allah pun menciptakan spesies manusia yang berketurunan dari Adam a.s. dan Hawa hanya dalam dua jenis saja; pria dan wanita. Pada keduanya Allah ta’ala menciptakan potensi kehidupan yang sama. Akal yang ada pada wanita sama fungsinya dan setara potensinya dengan yang dimiliki pria. Pria pandai berhitung, wanita pun tidak sedikit yang lebih pintar dari pria. Wanita handal menjadi dokter, pria pun sama. Kebutuhan jasmani yang ada pada pria pun sama dengan kebutuhan jasmani pada wanita. Baik pria maupun wanita sama-sama membutuhkan makan, minum, istirahat, sekresi (buang hajat) dan kebutuhan fisik lainnya. Demikian pula dengan karunia naluri yang diberikan Allah pada pria dan wanita pun tidaklah berbeda. Keduanya sama-sama memiliki kecenderungan untuk mensucikan dan mengagungkan sesuatu sebagai perwujudan naluri beragama (gharizatut tadayyun). Baik pria maupun wanita juga memiliki kecenderungan untuk mempertahankan diri dari hal-hal yang dapat mengganggu diri mereka, keduanya pun sama-sama memiliki kecenderungan untuk menyukai harta kekayaan; rumah mewah, perhiasan, kendaraan, dsb.
Adapun dalam pemenuhan naluri seksual (gharizatul jinsi) yang juga sama-sama dimiliki oleh pria dan wanita, keduanya membutuhkan satu sama lain demi melanggengkan manusia. Bisa saja manusia memenuhi kebutuhan naluri seksualnya tidak pada wanita, tetapi pada sesama jenis atau pada hewan. Namun, hal ini tidak sesuai dengan tujuan penciptaan gharizatul jinsi tersebut, yakni melanggengkan keturunan.
Dengan demikian perlu pemahaman dan aturan yang benar pada manusia ihwal naluri seksual yang ada pada pria dan wanita. Sehingga hubungan pria dan wanita menemukan aturan yang benar dan akan menjaga manusia dari rusaknya sistem sosial (nizhamul ijtima’iy).
Akan tetapi adalah hal yang tak bisa dipungkiri bahwa Allah SWT. telah menciptakan sejumlah perbedaan pada wanita yang memang sesuai dengan kodrat kewanitaan mereka. Seperti haid, kemampuan hamil, menyusui anak, sifat yang lemah lembut dan keibuan adalah bagian dari penciptaan Allah yang telah ditetapkanNya pada kaum wanita. Pada bagian inilah kaum wanita harus menyadari dan bersyukur atas hal tersebut. Bukan malah disesali atau digugat, karena hal-hal tersebut adalah khasiat (qadar) yang telah Allah ciptakan pada manusia dan Dia tidak akan menghisabnya kelak.
Pria dan Wanita di Hadapan Hukum Syara’
Tidak ada agama yang demikian egaliter menempatkan posisi pria dan wanita di mata hukum selain sistem Islam. Dalam falsafah hukum Islam, pria dan wanita sama-sama memiliki beban hukum yang serupa. Mereka berdua wajib terikat dengan hukum syara’ yang lima; wajib, sunah/mandub, mubah, makruh dan haram. Dalam banyak ayat seruan kepada wanita sama dengan seruan kepada pria. Diantaranya;
يَأَ يُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
“Wahai manusia sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian...”(al Baqarah:21)
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلىَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa,”(al Baqarah:183).
وَ لاَ تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضُكُمْ عَلىَ بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا وَ لِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ وَسْئَلُوْا اللهَ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagianmu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.”(anNisaa’:32)
Allah pun menyebutkan kaum beriman wanita adalah penolong bagi kaum beriman pria. FirmanNya:
وَ اْلمُؤْمِنُوْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Orang beriman laki dan orang beriman wanita sebagian dari mereka adalah penolong (awliya’) sebagian yang lain,”(at Taubah:71).
Meski demikian, karena Islam pun memberikan sejumlah hukum-hukum khusus bagi kaum wanita sesuai dengan kodrat kewanitaan mereka. Misalkan hukum seputar haid, kehamilan, pengurusan anak, nifas, dsb.
Wanita dan Karier
Setelah kehancuran khilafah Islamiyyah di tangan agen-agen Inggris, kaum muslimin terguncang hampir dalam berbagai bidang kehidupan. Yang paling parah adalah masuknya perang pemikiran (ghazwul fikriy) dan perang kebudayaan (ghazwuts tsaqofiy) ke dalam benak kaum muslimin sehingga menjauhkan mereka dari Islam. Bahkan muncul kesalahpahaman terhadap Islam. Terkait dengan dunia wanita, berkembang tuduhan bahwa ajaran-ajaran Islam mengandung bias gender, yakni terlalu didominasi dengan pemikiran-pemikiran maskulin (kaum pria) sehingga mendeskriditkan kaum wanita. Dalam pandangan para feminis, Islam adalah rantai yang membelenggu kaki dan tangan mereka, serta mengunci rapat dalam rumah mereka. Seorang muslimah, dalam pandangan para feminis yang telah terkena serangan racun Barat (westoxciation), adalah gambaran wanita Eropa pada abad pertengahan yang hanya berkutat pada urusan sumur-dapur-kasur. Barat telah berhasil memindahkan imej wanita Eropa yang “terjajah” pada abad pertengahan ke dalam benak kaum muslimah. Sehingga para muslimah pro feminisme itu menganalogikan gambaran wanita Islam dengan “tipuan” yang diciptakan Barat yang sekuler. Akhirnya, muncullah gugatan terhadap syari’at Islam dengan dalih para ulama Islam sekaliber Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dsb, tatkala melakukan proses istinbath (penggalian hukum-hukum Islam untuk permasalahan yang baru) telah memasukkan semangat kelelakiannya (male bias) untuk menjajah wanita. Sungguh satu fitnah keji yang datang dari orang-orang yang membenci Islam!
Padahal, dalam pandangan Islam wanita ditempatkan sebagai perhiasan yang harus dijaga dan dimuliakan harkat martabatnya. Bukan mahluk yang dieksploitasi tenaganya atau kecantikannya dan dijadikan komoditi pemuas nafsu kotor pria seperti pandangan ideologi kapitalisme. Sebaliknya dalam masyarakat yang menganut ideologi kapitalisme yang sekuler, wanita ditempatkan lebih rendah dibandingkan pria. Dalam politik, suara wanita baru diakui setelah perjuangan yang lama bertahun-tahun. Itupun masih dilirik dengan sebelah mata. Sementara di sektor ekonomi nasib kaum wanita juga tidak lebih baik dari nasibnya pada masa Eropa pertengahan. Buruh wanita diupah lebih rendah dari buruh pria dan kerap mengalami pelecehan seksual. Upah wanita baru dibayar lebih tinggi dari pria hanya dalam bidang yang menjual fisik wanita, menjadi model atau bintang film misalkan.
Sementara itu arus emansipasi yang telah mendorong wanita untuk mengejar karier, harus diakui berdampak buruk pada kehidupan rumah tangga mereka. Hubungan yang renggang suami dan anak-anak yang kurang mendapat perhatian penuh dari orang tua juga menjadi masalah serius. Mungkin kalimat ini bisa mendapat bantahan bahwa banyak wanita yang tidak berkarir akan tetapi rumah tangga mereka juga berantakan. Jawabnya, adalah kenyataan rumah tangga mereka juga tidak dibangun berdasarkan agama. Dan, dengan banyaknya wanita yang berkarir di luar rumah juga mendorong terjadinya perselingkuhan di kalangan mereka. Menurut penelitian majalah Kartini didapat data 36,1 persen wanita karir pernah melakukan hubungan seks bebas (AKSI, No. 56, 9-15 Desember 1997). Tidak mengherankan, dalam berbagai rubrik konsultasi di berbagai majalah sering didapatkan pembaca wanita karir yang mengkonsultasikan hubungannya yang kelewat dekat dengan teman pria sekantor, atau pria lain padahal mereka sudah sama-sama berumah tangga. Benarlah apa kata pepatah Jawa; witing tresno jalaran soko kulino. Dengan hampir setiap hari bertemu, dengan frekuensi yang lebih banyak dibandingkan pertemuan dengan anak-istri, benih-benih perselingkuhan muncul. Ujung-ujungnya perzinaan bahkan aborsi. Menurut jajak pendapat via wawancara telepon yang dilakukan tabloid AKSI seputar aborsi, didapat data yang mengejutkan; 40% responden pelaku aborsi adalah berstatus karyawati, 51,7 % mahasiswi/pelajar dan 8,3% ibu rumah tangga (idem). Data itu menunjukkan betapa para wanita karir memang beresiko tinggi terlibat perselingkuhan.
Dalam Islam, wanita memiliki dua peran utama; (1). Sebagai ibu bagi anak-anaknya dan (2). Sebagai pengatur urusan rumah tangga. Sabda Nabi Saw.
تَزَوَّجُوْا اَلْوَادُوْدَ وَ اْلوَالُوْدَ
“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang penyayang dan berperanakan subur,”
وَاْلمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ فيِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَ هِيَ مَسْؤُلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Istri adalah penggembala di rumah suaminya dan dia akan ditanya tentang apa yang dia gembalakan,”(HR. Bukhari)
Anak-anak yang lahir dari rahim wanita adalah amanah dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat. Sehingga setiap ibu berkewajiban menjaga mereka; menyusui dan menjaga gizinya, termasuk memberikan pendidikan agama yang benar dan utuh dalam lingkungan keluarga. Firman Allah SWT.:
قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَ أَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka,”(at Tahrim:6)
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa anak-anak yang dibesarkan dengan ASI -- terutama dengan menyusuinya dekat bagian jantung, yakni pada dada sebelah kiri -- akan memiliki kedekatan secara psikis dengan ibunya. Begitu pula anak-anak yang senantiasa dididik dan dibina oleh ibu mereka akan memiliki rasa hormat terhadap orang tua mereka. Lebih-lebih, keberhasilan seorang wanita membesarkan anak-anaknya, kelak tidak hanya akan dituai di dunia saja, tetapi juga di akhirat kelak.
Lalu bagaimana anak-anak bisa tumbuh baik bila jarang bersama dengan ibu kandung mereka? Minim konsultasi, pengawasan dan pembinaan agama di dalam rumah? Apalagi bila orang tua mereka tidak pernah mencontohkan kehidupan beragama yang utuh di hadapan anak-anaknya. Anak adalah manusia yang tidak hanya bergerak dengan perintah dan larangan, tapi juga dengan contoh dan sentuhan-sentuhan emosional. Banyaknya kekerasan yang dilakukan anak; semisal berkelahi, mengumpat, pemarah adalah satu contoh betapa anak lebih dekat kepada film atau video gim ketimbang ajaran agama.
Begitu pula seorang wanita yang telah berkeluarga wajib melayani suami mereka dengan sebaik-baiknya. Mengerjakan pekerjaan rumah dan kebutuhan suami yang lainnya. Dan hubungan suami-istri dalam pandangan Islam bukanlah hubungan atasan dengan bawahan, melainkan mitra. Sehingga meskipun istri wajib melayani suami, tetapi haram bagi suami mendzalimi istri mereka. Tidak menafkahinya --lahir & bathin -- apalagi menyakitinya.
Itulah karir utama wanita dalam pandangan Islam. Memang kemudian bermunculan kritik terhadap Islam; yakni mematikan kehidupan sosial wanita, seperti bekerja/berkarir. Lagi-lagi hal ini muncul dari ketidakpahaman terhadap Islam.
Dalam perspektif Islam, tugas mencari nafkah adalah kewajiban kaum pria/suami. Merekalah yang telah diberikan beban oleh hukum syara untuk menanggung kehidupan keluarga. Bila mereka melalaikannya maka mereka berdosa. Dan negara wajib memaksa mereka untuk mencari nafkah guna menghidupi keluarga mereka. Allah ta’ala berfirman:
وَ عَلىَ الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan wajib bagi para suami memberikan nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang baik.”(al Baqarah:233)
Meski demikian Islam pun mengijinkan kaum wanita untuk berkarir/bekerja di luar rumah sebagai aktivitas sampingan mereka dengan beberapa kondisi:
1. Mendapat ijin dari suami atau walinya.
2. Tidak melalaikan aktivitas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
3. Bekerja pada sektor yang dihalalkan syara’. Misal menjadi guru, dosen, kepala departemen/instansi, direktris, eksekutif perusahaan, dsb. Tidak boleh bekerja menjadi penghibur pria, penjual minuman keras, dsb.
4. Bekerja dengan kondisi/lingkungan yang tidak membahayakan akhlak dan akidahnya sebagai seorang muslimah. Sebagai contoh, wajib bagi wanita untuk mengenakan jilbab untuk menutupi aurat di tempat-tempat umum semisal kantor. Selain itu tidak boleh ia berkhalwat -- berduaan dengan pria yang bukan mahramnya-- di kantor.
Akan tetapi, pos mereka sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya dan pengatur rumah tangga adalah kewajiban tetap tidak boleh dilalaikan apalagi ditinggalkan. Sehingga, bila terjadi benturan antara aktivitas utama dengan aktivitas sampingannya, maka aktivitas utama harus didahulukan di atas aktivitas sampingan tersebut. Karena yang sunah apalagi mubah tidak bisa mengalahkan yang wajib, yang harus terjadi justru sebaliknya.
Khatimah
“Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara,” demikian bunyi kaidah syara yang telah masyhur di kalangan para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk mengetahui dan memahami hukum sebelum mereka melakukan suatu perbuatan. Bukankah setiap amal manusia kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.? Sehingga, jika seorang muslim/muslimah beramal dan menyalahi ketentuanNya, maka perbuatan tersebut terkategori sebagai kemaksiatan.
Demikian pula setiap muslim harus senantiasa meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah Zat yang Mahaadil, dan segenap aturanNya adalah satu-satunya sistem yang adil bagi manusia di atas muka bumi ini. Dekadensi moral yang saat ini merebak dan banyak melanggar kemuliaan para wanita adalah akibat kaum muslimin demikian percaya kepada aturan-aturan demokrasi kapitalisme yang kufur. Alih-alih mengangkat derajat wanita, malah lebih banyak menimbulkan kesulitan bagi para wanita itu sendiri. Sebagian dari mereka ada yang menyukai kemaksiatan tersebut, sebagian yang lain menjalankannya karena tuntutan keadaan.
Sungguh, dengan kembali menerapkan kehidupan Islam yang paripurna, maka kaum wanita akan menjadi mahluk yang mulia dan terjaga. Karena aturan Islam datang untuk memuliakan manusia, bukan menghancurkan mereka. Wallahu a’lam bis showab.l
Tidak ada komentar:
Posting Komentar